Kamis, 15 November 2012

KUJANG AJIMAT RAJA PASUNDAN

senjata tradisional masyarakat budaya Indonesia
kedua adalah Kujang, ya kujang adalah salah satu
senjata tradisional masyarakat sunda, yang memiliki
nilai budaya yang cukup diperhitungkan oleh para
pengamat budaya. Kujang satu-satunya senjata yang
hanya dimiliki oleh masyarakat sunda, untuk itu
marilah kita ketahui lebih jauh senjata yang satu ini.
Dengan tetap menyisip pesan; tersaji bukan untuk
dipuji apalagi dihina melainkan tersaji untuk
diketahui dan diperbaiki. Dari judulnya sudah
terbersit dalam ingatan bahwa kujang adalah senjata
tradisional provinsi Jawa Barat. Senjata ini kenapa
dikenal dengan nama Kujang, karena hampir mirip
Bentuknya dengan sabit atau celurit. Namun, ada
kelainan pada bagian punggungnya yang berlubang.
Mulanya senjata ini dipergunakan pada abad ke-4
sebagai alat kebutuhan pertanian. Akan tetapi pada
pada abad ke-9 masehi, nilai kujang menjadi sakral.
Pada masa ini, kujang dipergunakan sebagai senjata
pusaka oleh Raja-raja di tanah Pasundan. Senjata ini
diyakini memiliki kekuatan magis, dan sanggup
memberi wibawa dan kesaktian bagi pemiliknya.
Kujang adalah senjata yang penuh dengan misteri.
Dikatakan demikian karena banyak yang meyakini di
dalam Kujang terdapat sebuah kekuatan magis dan
sakral. Bagi kebanyakan orang-orang Sunda, Kujang
dianggap tak sekadar senjata biasa. Melainkan
senjata yang memiliki “kekuatan lain” di luar nalar
manusia. Bagi orang-orang Sunda yang tak meyakini
adanya kekuatan lain (gaib) dibalik Kujang pun, pasti
akan memperlakukan Kujang dengan istimewa.
Setidaknya menghargai Kujang sebagai hiasan
rumah, bahkan cinderamata. Di sinilah nilai
kewibawaan senjata Kujang dibuktikan. Kujang
memang memiliki nilai-nilai filosofi bagi orang-
orang Sunda Kuno. Dan proses penciptaannya sangat
berkait erat dengan kebutuhan akan kekuatan lain
dari sebuah senjata. Muasal Kujang sendiri
sebenarnya terinspirasi dari sebuah alat kebutuhan
pertanian. Alat ini telah dipergunakan secara luas
pada abad ke-4 sampai dengan abadke-7 Masehi.
Ketika itu bentuknya lebih mendekati figure arit atau
celurit. Barulah pada abad ke-9, wujud Kujang mulai
berwujud seperti yang kita
lihat sekarang. Sejak itulah image masyarakat soal
Kujang telah berubah. Azimat Raja-Raja Nilai Kujang
sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali
muncul dalam sejarah Kerajaan Padjadjaran
Makukuhan. Tepatnya pada masa pemerintahan
Prabu Kudo Lalean. Sejak itu, Kujang secara
berangsur-angsur dipergunakan para raja dan
bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang
kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Kudo
Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat.
Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk
mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini
dipergunakan sebagai alat pertanian. Anehnya,
desain terbaru yang ada di benak sang Prabu,
bentuknya mirip dengan Pulau “Djawa Dwipa”, yang
dikenal sebagai
Pulau Jawa pada masa kini. Nah, setelah mendapat
ilham itu, segera prabu Kudo Lalean menugaskan
Mpu Windu Supo, seorang pandai besi dari keluarga
kerajaan. Ia diminta membuat mata pisau seperti
yang ada di dalam pikiran sang Prabu. Mulanya, Mpu
Windu Supo gusar soal bentuk senjata yang mesti
dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu
Windu Supo melakukan meditasi, meneropong alam
pikiran sang prabu. Akhirnya didapatlah sebuah
bayangan tetang purwa rupa (prototype) senjata
seperti yang ada dalam pikiran Kudo Lalean. Setelah
meditasinya usai, Mpu Windu Supo memulai
pekerjaannya. Dengan sentuhan- sentuhan magis
yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual, maka
jadilah sebuah senjata yang memiliki kekuatan
tinggi. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya unik,
dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata
ini memiliki 2 buah karakteristik yang mencolok.
Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3
lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah
sebuah senjata yang pada generasi mendatang
selalu berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran
Makukuhan. Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan
filosofi dari cita- cita sang Prabu, untuk menyatukan
kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu
kerajaan yang dikepalai Raja Padjadjaran
Makukuhan. Sementara tiga lubang pada pisaunya
melambangkan Trimurti, atau tiga aspek Ketuhanan
dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea.
Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahma,
Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti) juga
diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu. Kerajaan-
kerajaan itu antara lain Pengging Wiraradya, yang
berlokasi di bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang
Putih, yang berlokasi di bagian Utara Jawa, dan
Kerajaan Padjadjaran Makukuhan, berlokasi di Barat.
Berubah Bentuk Bentuk Kujang berkembang lebih
jauh pada generasi mendatang. Model-model yang
berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam
tumbuh di masyarakat, Kujang telah mengalami reka
bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan
upaya dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian
Santang, yang berkeinginan meng-Islamkan rakyat
Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa
Hindu dan agama dari kultur yang lampau, direka
ulang sesuai dengan filosofi ajaran Islam. Syin
sendiri
adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat)
syahadat dimana stiap manusia bersaksi akan
Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai
utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat
dan niat di dalam hati inilah, maka setiap manusia
secara otomatis masuk Islam. Manifestasi nilai
Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area
mata pisau yang menyesuaikan diri dengan bentuk
dari huruf Syin. Kujang model terbaru seharusnya
dapat mengingatkan si pemiliknya dengan
kesetiannya kepada Islam dan ajarannya. Lima
lubang pada Kujang telah menggantikan makna
Trimurti. Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang
dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model
Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang
didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang.
Namun wibawa Kujang sebagai senjata pusaka yang
penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan
tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat. Dalam
perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai
para raja dan kaum bangsawan. Masyarakat awam
pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para
Raja dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda,
Kujang kerap terlihat dipajang sebagai mendekorasi
rumah. Konon ada semacam keyakinan yang berkait
dengan keberuntungan, perlindungan, kehormatan,
kewibawaan dan lainnya. Namun, ada satu hal yang
tak boleh dilakukan. Yakni memajang Kujang secara
berpasangan di dinding dengan mata pisau yang
tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini
merupakan tabuatau larangan. Selain itu, tidak boleh
seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri
diantara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya,
ini akan menyebabkan kematian terhadap orang
tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi bisa
kurang. (Waulahu’alam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar