Kamis, 22 November 2012

Pantun sunda

PANTUN SUNDA
Seni pantun Sunda berbeda dengan
pantun Melayu yang serupa sisindiran dalam
tradisi Sunda (puisi yang terdiri dari dua
bagian, sampiran dan isi). Pantun Sunda
merupakan seni pertunjukan cerita sastra
Sunda lama yang disajikan dalam paparan,
dialog, dan dinyanyikan. Seni pantun dilakukan
seorang juru pantun diiringi kacapi yang
dimainkannya sendiri.
Dalam naskah Siksa kandang Karesian
(1518M) dipaparkan pantun digunakan sejak
zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan
Siliwangi. Asalnya cerita pantun seputar kisah
kegagahan raja-raja di atas. Pada
perkembangannya cerita pantun terus
bertambah. Kita pasti tak asing dengan Lutung
Kasarung , Langgasari, Ciung Wanara ,
Mundinglayadikusumah, Dengdeng Pati
Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya , Sumur
Bandung , Demung Kalagan, dll. Seni tua usianya
ini melahirkan beberapa ahli pantun seperti
Rd. Aria Cikondang dari Cianjur (abad 17),
Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja (abad 19),
Uce dan Pantun Beton Wikatmana dari Bandung
(awal abad 20) dan Ki Buyut Rombeng dari
Bogor.
Seni pantun Sunda umumnya
merupakan kisah yang disampaikan oleh
pendongeng profesional pada zamannya yang
seringkali berkelana dari desa ke desa untuk
menyampaikan ceritanya kepada semua orang.
Tujuan sang juru pantun bertutur adalah untuk
mengajarkan agama, kepercayaan, sejarah,
mitologi, moral, dan tata krama. Sepanjang
abad ini, dongeng-dongeng para juru pantun
lambat laun berubah menjadi cerita anak-anak.
Salah satu pantun Sunda yang sangat terkenal
adalah Lutung Kasarung. Dengan syair yang
panjangnya lebih dari 1000 baris, kisah yang
berasal dari abad 15 ini begitu populer hingga
termasuk kisah pertama yang difilmkan di
Indonesia pada 1926.
Pantun disajikan dalam dua bentuk.
Yang pertama sajian untuk hiburan dan yang
kedua merupakan sajian ritual
( ruwatan).Sebagai sajian hiburan, pantun
diceritakan atas permintaan penaggap. Sebagai
sajian ruwatan, pantun ditampilkan sama
dengan cerita wayang, seperti Batara Kala ,
Kama Salah, atau Murwa Kala. Pertunjukan
pantun, baik dalam fungsi hiburan maupun
ritual, tidak disajikan sembarangan. Sifatnya
yang sakral dipertahankan karena bagi
masyarakat Sunda membaca dan
mendengarkan pantun berisi cerita raja-raja
atau leluhur mereka merupakan bentuk
penghormatan tersendiri kepada nenek
moyang.
Pola pertunjukan pantun tak pernah
berubah: penyediaan sesajen, ngukus
(membakar kemenyan), mengumandangkan
rajah pamunah, babak cerita dari awal hingga
akhir, dan penutupan dengan
mengumandangkan rajah pamungkas.
Pertunjukan biasanya diiringi alat jusik kacapi.
Awalnya, kacapi yang dipergunakan sangatlah
sederhana seperti kacapi Baduy yang hanya
berdawai 7 kawat. Seiring dengan
pertumbuhan seni Cianjuran, kacapi kecil itu
digantikan dengan kacapi gelung (tembang) dan
akhirnya kacapi siter . Laras yang dimainkan
mengiringi pantun biasanya adalah laras pelog
dan salendro.
Sebagai kesenian yang hidup di tatar
Sunda sejak zaman Hindu sampai Islam dan
menjadi anutan masyarakat, tak heran jika
ungkapan, ajaran, dan petuah ki juru pantun
yang terdapat dalam isi pantun adalah
pembauran kedua zaman itu. Selain banyak
ungkapan-ungkapan yang berasal dari budaya
Islam seperti istighfar, takbir, dll., terdapat
pula ungkapan khas Hindu-Budha seperti ka
dewata , ka pohaci, ka para karuhun , buyut, dll.
Harus diakui, dewasa ini, kondisi seni
pantun sangat memprihatinkan. Walaupun seni
pantun masih dapat bertahan sebagai seni yang
adiluhung, tetap saja telah terjadi pergeseran
terutama dalam fungsinya dari yang sakral
menjadi profan.//kims

Tidak ada komentar:

Posting Komentar