Kamis, 22 November 2012

Scene bawah tanah indonesia 1980an-2000an

SCENE BAWAHTANAH INDONESIA 1980an-2000an
By Kimung
Teman-teman, kita sudah sampai di era baru
industri musik…
Wenk Rawk, 2007
Inilah propaganda informasi paling diminati
mengenai wajah indsutri musik baru Indonesia.
Essay yang ditulis scenester pionir Wenk Rawk ini
menggambarkan dengan gamblang bagaimana kini
label rekaman meluaskan ekspansi bisnis mereka
dalam industri musik tanah air, yaitu dengan
membuka divisi manajemen artis di label rekaman.
Ini adalah sebuah jalan pintas yang dilakukan
perusahaan rekaman untuk mengeksploitasi artis-
artisnya, ketika bisnis utama mereka semakin
terpuruk akibat maraknya pembajakan di tanah air.
Jelas fenomena manajemen artis di sebuah label
bukan suatu yang sehat karena label label
rekaman jelas tidak kompeten untuk urusan
manajemen artis, berpotensi merusak tatanan
industri musik yang selama ini otonom dari tiga
belah pihak terkait—artis, manajemen, label, dan
rentannya konflik kepentingan tingkat tinggi, saat
manajernya bingung harus membela kepentingan
siapa bila terjadi bentrok antara artis dan label.
Memang sistem manajemen artis dalam sebuah
label rekaman bukanlah fenomena umum dan
hanya beberapa gelintir perusahaan rekaman yang
telah menerapkan hal ini. Namun itu sudah menjadi
tak penting, karena yang terpenting adalah
mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi.
Rawk menganalisis, penyebab kondisi tak sehat ini
terjadi akibat semakin parahnya praktek
pembajakan di Indonesia dan juga peran
pemerintah yang berkesan main-main saja dalam
mengatasi hal ini. Musisi-musisi independen jelas
gerah dengan kondisi ini. Dengan kreatif, mereka
lalu melawan sistem pembajakan dengan cara
yang sama : pembajakan pula, namun kini yang
membajak adalah musisi kreator karya mereka
sendiri. Dan kemudian meledaklah fenomena yang
mengguncang industri musik tanah air itu—
penggratisan album oleh para musisi atau band.
Koil, menjadi band pionir fenomena ini. Mereka
bekerja sama dengan sebuah perusahaan minuman
dalam merilis album mereka dan juga menjalin
kerjasama dengan majalah Rolling Stone untuk
mendistribusikan album terbaru mereka, Blacklight
Shines On secara gratis. Tak hanya itu, mereka
juga memberi akses download album gratis via
website/mailing list musik. Ide Koil ini memang
tergolong baru walau sebenarnya tidak original
juga. Prince bulan Juni lalu lebih dulu
mengedarkan 3 juta keping album terbarunya
secara gratis via Tabloid Sun di Inggris.
Dan demikianlah, maka Otong dkk, tanggal 21
September 2007, tampil di sebuah studio di
bilangan Cililitan, Jakarta Timur, untuk
memperkenalkan album Blacklight Shine On ,
sekaligus juga pembuatan video klip “Semoga Kau
Sembuh Part II” yang disutradarai Rizal Mantovani
dan juga merupakan soundtrack film Kuntilanak 2.
ini adalah sebuah tonggak baru yang ditancapkan
Koil setelah rilisnya album Megaloblast enam
tahun lalu, album yang berhasil menembus angka
fantastis. Album Megaloblast re-mix tahun 2003
berhasil menembus angka penjualan hingga 30.000
keping.
Blacklight Shine On dalam hal ini tak berpretensi
memecahkan rekor Megaloblast . Album ini sangat
penting karena menggunakan sistem baru dalam
pendistribusiannya : penggratisan album. Otong
memaparkan bahwa Blacklight Shine On, “…
menyasar penikmat musik Indonesia dari lapisan
menengah ke bawah. Kami menyajikan musik
bagus dengan kualitas suara yang bagus pula, tapi
dapat dibeli dengan harga murah.” papar Otong,
menjelang syuting video klip yang disutradarai
Rizal Mantovani.
Blacklight hine On, secara musikalitas memang
snagat spektakuler. Namun yang tak kalah hebat
adalah pengemasan lirik-lirik khas yang ditulis
Otong. Beberapa lagunya, “Kenyataan dalam Dunia
Fantasi”, “Semoga Kau Sembuh”, “Ajaran Moral
Sesaat”, “Aku Lupa Aku Luka”, dan “Hanya Tinggal
Kita Berdua” banyak menyoroti ketimpangan
sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Otong yang
menulis semua syair memberikan komitmen, “Kita
butuh sesuatu untuk bangsa ini. Dari sinisme yang
saya kemukakan di beberapa lagu awal, akhirnya
toh saya tetap akan membela negara ini, apapun
akibatnya.” Selain menggratiskan CD mereka, Koil
juga membagikan album paling ditunggu pecinta
musik bawahtanah ini dalam format MP3. untuk
mempromosikan album mereka, Koil juga
menggelar serangkaian tur mulai November di
Jakarta, Bandung, Yogyakata, Surabaya, dan
Denpasar.
***
Namun, itu adalah kini. Jauh sebelumya, Koil yang
didirikan tahun 1993 oleh Otong, Doni, Imo, dan
Leon dirintis dari awal di titik nol. Band yang sejak
awal berdiri memutuskan memainkan lagu-lagu
ciptaan sendiri itu, merekam 8 lagu mereka dan
merilisnya dalam single berjudul Demo From
Nowhere dalam format kaset yang dijual terbatas,
hanya di Studio Reverse.
Musik Koil adalah musik rock yang dipenuhi
sampling suara yang tidak hanya berasal dari
instrumen musik tapi juga dari suara-suara yang
ada di sekitar kita seperti suara air, besi dipukul,
suara-suara binatang, suara orang pidato, dan lain-
lain. Dari segi lirik, penulisan lirik-lirik yang
mengekspresian rasa marah, kegelapan dan cinta,
dituangkan dalam bait-bait lirik berbahasa
Indonesia yang tertata apik. Ini adalah suatu nilai
plus karena lirik bahasa Indonesia masih jarang
dipakai untuk jenis musik rock seperti Koil. Hal
inilah yang menarik perhatian Budi Soesatio dari
label Project Q untuk merilis album-album Koil.
Maka September 1996, KOIL merilis full album
pertama yang berjudul Koil. Lagu-lagunya
sebagian diambil dari singel Demo From Nowhere.
Album ini mendapat tanggapan positif dari
khalayak musik Indonesia terutama pencinta musik
rock, karena musik dan liriknya dianggap tonggak
baru dalam kancah musik rock Indonesia.
Tahu 1998 Koil keluar dari Project Q dan merilis
singel Kesepian ini Abadi di bawah label
Apocalypse Record, label yang dibuat oleh Otong
(Koil) dan Adam (Kubik). Kaset ini diedarkan
melalui jaringan distro-distro bawahtanah yang
saat itu sudah mulai banyak bermunculan di kota-
kota besar. Seiring dengan itu, Koil mencoba
konsep baru dalam pertunjukannya, yaitu dengan
memasukan unsur-unsur lain dalam
pertunjukannya yaitu fashion dan tarian. Kostum
dari kulit, berwarna hitam, penuh asesoris logam,
boots tinggi, ditambah dengan aksi para penari
wanita berpakaian seksi membuat pertunjukan
musik Koil menarik dan berbeda dengan yang lain.
Koil sempat bereksperimen me remix lagu-lagu
Puppen, Burgerkill, dan Jasad, serta ikut dalam
berbagai kompilasi sebelum akhirnya merilis
Megaloblast , bulan Februari 2001 di bawah label
Apocalypse Record. Saat pertama dirilis, distribusi
kaset ini dilakukan hanya lewat jaringan distro-
distro bawahtanah di Jakarta dan Bandung,
pemesanan melalui pos, dan beberapa toko kaset.
Cara ini ditempuh oleh Koil untuk menekan biaya
distribusi. Sementara untuk promo, Koil membuat
poster-poster dan baligo yang di pasang di jalan-
jalan utama—untuk promosi ini, Koil dibantu
banyak pihak seperti distro-distro, radio, majalah,
restoran—serta memaksimalkan penggunaan
internet. Koil juga membuat video klip lagu
“Mendekati Surga” dan mengirimkannya ke MTV.
Tak disangka ternyata sambutan dari khalayak
sangatlah antusias. MTV—kala itu belum
menayangkan klip band indie—menyebutkan
respon terhadap klip Koil bahkan lebih besar
daripada klip Linkin Park. Hal itu membuat pihak
MTV mengundang Koil untuk tampil dalam acara
MTV Musik Award 2003.
Megaloblast kemudian dirilis ulang oleh Alfa
Records bulan Desember 2003 dengan
penambahan dua lagu remix dan pendistribusian
luas mencakup seluruh Indonesia. Terjadi juga
perubahan artwork kover menjadi berwarna hitam
gelap. Karenanya, album ini sering disebut juga
sebagai album Megaloblack . Untuk promo, Koil
menambah dua klipnya, yaitu untuk lagu “Kita
Dapat Diselamatkan” dan “Dosa Ini Tak Akan
Berhenti.” Prestasi Koil ini mendapat perhatian dari
majalah Times Asia, sehingga dalam salah satu
tulisannya menyebut Koil sebagai salah satu band
rock masa depan Indonesia.
Juni 2005, Koil merilis 2 buah singel terbarunya
yang berjudul “Hiburan Ringan Part 1” dan “Hiburan
Ringan Part II.” Singel ini masuk dalam soundtrack
film horor berjudul 12:00 AM. Masih di bulan yang
sama, Koil membuat klip dari lagu “Hiburan Ringan
Part II” dan akhirnya September 2007 Koil merilis
semua lagu-lagunya dalam album fenomenal
Blacklight Shine On .
Scene Bandung
Studio Reverse, tempat di mana Koil pertama kali
menitipkan demo mereka untuk dijual, dapat
dikatakan sebagai salah satu tonggak kebangkitan
scene musik bawahtanah Bandung. Studio ini
berdiri tahun 1994, oleh Richard Mutter—saat itu
drummer PAS—Dxxxt, dan Helvi Syarifuddin.
Ketika semakin berkembang, Reverse kemudian
melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka
distro yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta
berbagai aksesoris impor lainnya. Richard
membangun label independen 40.1.24, rilisan
pertamanya adalah kompilasi CD
“Masaindahbangetsekalipisan” tahun 1997, berisi
band-band indie masa itu, antara lain Burgerkill,
Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan
Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal
Jakarta. Dapat dikatakan, masa-masa inilah
tonggal awal populerisasi wacana Do It Youself
(DIY), yaitu sebuah bentuk pemikiran yang
mementingkan inisiatif individu dalam membangun
gerakan budaya tandingan.
Melalui wacana DIY pula Richard dan bandnya PAS
pada tahun 1993, PAS menorehkan sejarah sebagai
band Indonesia yang pertama kali merilis album
secara independen. Mini album mereka Four
Through The S.A.P sebanyak 5000 kaset ludes
terjual dalam waktu singkat. Kesuksesan PAS tak
lepas dari peran ‘mastermind’ yang melahirkan ide
merilis album PAS secara independen tersebut. Ia
adalah (alm) Samuel Marudut, Music Director
Radio GMR, stasiun radio di Bandung yang khusus
memutar musik rock/metal. Radio ini juga
memiliki program khusus memutarkan demo-
demo rekaman band-band rock amatir asal
Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Band yang juga
kemudian memanifestasikan wacana DIY sejak
awal kemunciulan merka dan konsisten adalah
Puppen, Pure Saturday, dan Kubik.
Beberapa tahun sebelum berdirinya Puppen,
terdapat komunitas lain yang berkumpul di lantai 3
pusat pertokoan Bandung Indah Plaza. Komunitas
ini menamakan diri Bandung Death Metal Area,
atau Badebah, kebanyakan adalah para pecinta
musik thrash, death metal, dam grindcore. Pionir
komunitas ini adalah Uwo, vokalis band Funeral,
band yang berdiri Sukaasih, Ujungberung. Badebah
berkembang pesat. Yang ikut nongkrong kemudian
bukan cuma anak-anak metal, tapi juga berbaur
dengan punks, hardcore, dan lain-lain. Marchell,
penabuh drum Puppen di dua album awal mereka
adalah salah satu anggota Badebah yang termuda.
Selain Funeral, band yang juga tergabung dalam
komunitas ini adalah Necromancy dan Jasad.
Sementara itu di Kota Bandung secara umum, band
yang seangkatan dengan Funeral adalah Rebels
Youth, Succubuss, Insanity, dan Mortir. Badebah
juga sempat menjadi program siaran radio Salam
Rama Dwihasta di Sukaasih, Ujungberung antara
tahun 1992 hingga 1993. Program ini bahkan
memiliki rating yang tinggi. Dalam seminggu para
penyiar kita—Agung, Dinan, Uwo, Iput—bisa
mendapatkan surat dan kartu pos lebih dari dua
ratus hingga tiga ratus pucuk.
Di sudut lain, anak-anak Ujungberung yang lebih
muda, mulai membentuk komuitas sendiri-sendiri
atau bergabung dengan komunitas-komunitas
metal yang baru lahir saat itu. Mereka nongkrong di
Jogja Kepatihan, Kings, dan Palaguna. Semakin
intens bertemu, mereka kemudian sepakat
membentuk organisasi pecinta metal ekstrim.
Organisasi tersebut kemudian berdiri dengan nama
Bandung Lunatic Underground (BLU) tahun 1993.
Sosok di baliknya antara lain adalah scenester
Ipunk, Romy, Gatot, Yayat, dan Dani.
Di Ujungberungnya sendiri, komunitas kemudian
berkembang. Sebelunya di sana sudah ada band
Orthodox yang didirikan Yayat (Revolt! Records),
Dani (Jasad), AyiOto (Sacrilegious), dan Agus
(Sacrilegious) tahun 1988. Band-band kemudian
tumbuh semakin subur di Ujungberung ketika
Studio Palapa berdiri. Band-band Ujungberung pula
yang kemudian rajin merilis album mereka secara
independen. Dari sepuluh rilisan scene indie
Indonesia tahun 1995 yang berhasil
didokumentasikan Majalah Hai, tiga rilisan di
antaranya berasal dari Ujungberung, mereka adalah
Sacrilegious degan album Lucifer’s Name Be Pray ,
Sonic Torment album Haatzaai Artikelen , dan
Jasad dengan album C’st La Vie. Pergerakan scene
Ujungberungan semakin solid ketika mereka
membentuk organisasi jaringan kerja sama
komunitas metal Indonesia, Exteme Noise Grinding
(ENG). Program ENG adalah melakukan
propaganda pergelaran musik Ujungberung yang
kemudia kita kenal dengan Bandung Berisik, dan
membuat zine. Revograms edisi pertama, Maret
1995 buatan ENG disebut-sebut sebagai zine
pertama di scene musik bawahtanah Indonesia.
Ujungberung segera menjadi episentrum musik
metal bawahtanah Bandung, bahkan Indonesia.
Dinamika perkembangan mereka didukung penuh
oleh studio latihan da rekaman, Palapa Studio yang
dirintis oleh kang Memet Sjaf. Bersama Yayat,
Kang Memet pula yang kemudian membangun
karakter sound awal Ujungberungan yang khas dan
powerfull. Dari studio ini juga lahir band-band
yang kini menjadi ikon scene musik metal
bawahtanah yang lahir setelah era Orthodox-
Funeral-Necromancy-Jasad. Mereka adalah Three
Side of Death, Analvomit, Disinherit, Sacrilegious,
Sonic Torment, Morbus Corpse, Forgotten,
Burgerkill, Naked Truth, Embalmed, Beside, dan
sebagainya.
ENG kemudian melebur menjadi lebih cair.
Program kegiatan perahan beralih secara alami
sesuai dengan kebutuhan saat itu : kru pendukung
band-band yang manggung. Maka dimulailah
tradisi pembinaan kru di Ujungberung. Mereka
kemudian disebut sebagai Homeless Crew, nama
yang dibuat oleh Ivan Scumbag, Kimung, dan Addy
Gembel sebagai manifestasi dari menolak gaya
hidup mapan. Gaya hidup jalanan kemudan
mewarai keseharian dan pada giliranya, pola pikir
Homeless Crew. Sementara itu, semakin intensnya
anak-anak Homeless Crew belajar sound dan alat-
alat, memuat mereka semakin bergairah unutk
membentuk band. Hingga tahun 1997 setidakya ada
enam belas band di Homeless Crew. Mereka
sepakat untuk mengumpulkan karya mereka dalam
satu komplasi yang mereka namakan Ujungberung
Rebels . Tahun 1998 kompilasi itu dirilis oleh
Independen Records dengan judul Independen
Rebels . Kompilasi ini mendapat sorotan yang baik
dari berbagai kalangan. Anak-anak Homeless
Crew pun pelan-pelan punya sebutan baru untuk
komunitasnya : Ujungberung Rebels.
Pada masa ini, di daerah perkotaan pertumbuhan
scene musik indie juga semakin pesat. Berbagai
genre lahir dan berkembang, berbagai pertunjukan
musik bawahtanah silih berganti digelar di gedung
pergeraran musik bawahtanah saat itu, Gor
Saparua. Tak tanggung-tanggung hampir setiap
minggu sejak Hullaballo I—event musik
bawahtanah pertama di Kota Bandung tahun 1994—
pertunjukan musik bawahtanah digelar. Namanya
macam-macam, Bandung Underground, Gorong-
Gorong Bandung, Campur Aduk, Bandung Berisik,
Boomer, Master of Underground, dan lain-lain.
Pergelaran ini stereotip : menampilkan band-band
lokal Bandung, kadang juga mengundang band-
band luar Bandung, yang memainkan jenis musik
berbeda-beda. Dari panggung inilah besar band-
band ikonik semacam Puppen, Jasad, Burgerkill,
Forgotten, Sacrilegious, Full of Hate, Pure Saturday,
Closeminded, Koil, Motordeath, Noise Damage,
Hellgods, Homicide, Nicfit, Rutah, The Clown,
Turtles Jr., Noin Bullet, Agent Skins, Jeruji, Helm
Proyek, Cherry Bombshell, Sieve, dan lain-lain.
Perlahan setiap komunitas kemudian membangun
sebuah jejaring yang mewarnai seluruh aspek
kehidupan orang-orang yang hidup di dalamnya.
Wujud dari jaringan ini adalah maraknya ompilasi
yang dirilis label dalam indie dalam negeri maupun
luar negeri yang menyertakan band-band lokal.
Tidak berhenti di situ, tahun 1999, FastForward
Records merilis beberapa album band luar negeri
seperti The Chinkees (Amerika), Cherry Orchard
(Perancis), dan 800 Cheries (Jepang). Pada
kelanjutannya, malah band-band local Bandung
yang kemudian banyak dirilis label asing.
Beberapa di antaranya adalah Forgotten, Jasad,
Homicide, Domestik Doktrin, dan yang paling
aktual adalah Bugerkill.
Perkembangan band yang menggembirakan ini juga
ditambah dengan mulai maraknya pembuatan
merchandise yang pada gilirannya mendorong
pertumbuhan industri kloting di Kota Bandung.
Bisnis distro kecil-kecilan yang telah dirintis
Reverse menelurkan banyak embrio lain. Maka
kemudian lahirlah klotingan dan distro seperti
Rebellion Shop, 347 Boardrider & Co., No Label
Stuff, Airplane Apparel System, Ouval Research,
Riotic, Anonim, Harder, Monik, dan sebagainya.
Kemunculan toko-toko semacam ini kemudian
tidak hanya menandai perkembangan scene anak
muda di Kota Bandung, tetapi juga kota-kota lain
semisal Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan
sebagainya.
Selain musik, olah raga ekstrim, dan fashion,
literasi juga berkembang pesat di Kota Bandung.
Sejak kemunculan Revograms tahun 1995, puluhan
zine—media berbagi informasi dan berkomunikasi
antar komunitas berupa selembaran atau majalah
kecil format fotokopian—lahir bagai jamur di
musim hujan. Dapat dikatakan, era zine bisa
disebut sebagai kebangkitan kedua literasi
Bandung setelah era Majalah Aktuil tahun 1970an
yang dibangun oleh Sonny Suriaatmadja, Denny
Sabri Gandanegara, dan Remy Sylado. Zine-zine
ini diedarkan di distro-distro. Ada yang gratisan,
ada juga yang dijual. Isinya memuat berbagai
kabar dan isu mengenai dinamika komunitas
yangbersangkutan dengan zine dan scene indie
Bandung, Indonesia, dan internasional secara
umum.
Tak lama setelah kemunculan Revograms,
kemudian lahirlah fanzine indie seperti Swirl,
Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut
meramaikan media indie Bandung. Ripple dan
Trolley muncul sebagai majalah yang membahas
kecenderungan subkultur Bandung dan jug
lifestylenya. Trolley akhirnya kolaps tahun 2002,
sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke
format majalah standar. Sementara fanzine yang
umumnya fotokopian hingga kini masih terus
eksis.
Pada masa pertengahan1990an hingga tahun
2000an, ketika industri fashion masih dalam taraf
perkembangan, distro-distro masih menyediakan
ruang bagi scenester untuk saling bertemu,
berdiskusi, dan saling berbagi informasi. Distro
menjadi semacam ruang sosial tempat bertemu
komunitas dan tempat peredaran zine. Ini terlihat
dari isi zine yang hampir semuanya memuat
kabar-kabar berkaitan dengan dinamika
komunitas. Ketika orientasi distro tahun 2000an
semakin meleceng dari pendukungan dinamika
komunitas menuju ‘dagang murni’, ruang-ruang
diskusi semakin terbatas. Zine pun bermutasi
bentuknya, bukan lagi media propaganda
pengembangan komunitas, tempat berbagi
informasi, dan saling berkomunikasi, tetapi hanya
berperan sebagai katalog dagang semata.
Namun demikian, hal itu tak mengganggu teakd
pengembangan literasi di scene bawahtanah
Bandung. Puncaknya adalah tahun 2000an dengan
berdirinya toko-toko buku yang diawali dengan
berdirinya Tobucil, Ultimus, Rumah Buku, dan
Omuniuum. Tempat-tempat diskusi dan ruang
peredaran zine yang dulu menggunakan ruang-
ruang distro, kini beralih ke toko buku. Selain toko
buku, yang kemudian berkembang adalah
penerbitan independen yang tumbuh dari kultur
komunitas musik. Minor Books adalah salah satu
penerbitan yang berkomitmen mengangkat karya-
karya dan sejarah komunitas. Buku terbitannya,
Myself : Scumbag Beyond Life and Death karya
Kimung tahun 2007 dapat disebutkan sebagai karya
pertama yang mendokumentasikan scene musik
bawahtanah secara komprehensif dalam kurun
waktu dua puluh tahun terakhir. Yang patut
dicermati adalah bahwa buku ini merupakan buku
pertama dari rangkaian buku trilogi sejarah scene
bawahtanah Bandung yang akan digarap Minor
Books. Buku kedua rencananya berjudul Panceg
Dina Galur, Ujungberung Rebels , dan buku ketiga
rencananya Bawahtanah Bandung 1980-2010 .
Sementara itu, perkembangan fashion di Kota
Bandung ternyata tak tumbuh hanya di kloting saja.
Berbagai macam bentuk perayaan di ruang-ruang
publik menyumbangkan hal yang besar bagi
dinamika pertumbuhan fashion . Dari mulai acara-
acara semacam konser musik, Pasar Seni ITB,
Dago Festival sampai pada kegiatan demontrasi
politik dan balapan motor yang sering muncul
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir di jalan-
jalan utama kota Bandung memfasilitasi orang-
orang Bandung untuk keluar rumah dan
mempertontonkan dirinya. Hal inilah yang agaknya
kemudian membawa berkah istimewa bagi
perkembangan musik, juga termasuk
perkembangan street fashion di Bandung, yang
kemudian sedikit banyak juga ikut mendorong
pertumbuhan distro-distro yang ada untuk terus
berkembang biak. Selain itu, warga Kota Bandung
juga mendapatkan sarana fashion daur ulang di
wilayah Tegalega yang konon dihuni sekitar 3000
lapak penjaja pakaian bekas pakai yang
kebanyakan diimpor dari luar negeri. Berbeda
dengan distro, bisnis impor pakaian bekas yang
sejak tahun ’95-an berpindah dari satu tempat ke
tempat yang lain semisal daerah Cibadak, Kebun
Kelapa, sampai akhirnya di daerah Tegalega ini
terlihat jauh lebih sederhana. Walaupun sekarang
aktifitas di Tegalega sudah dipindahkan ke tempat
yang lain (daerah Gedebage, Ujungberung), tempat
ini tetap memiliki pengaruh yang khusus bagi
perkembangan fashion di kota Bandung.
Sementara itu, sebuah fenomena baru merebak di
awal tahun 2000an ketika Gor Saparua akhirnya
dilarang digunakan untuk konser-konser musik.
Setelah itu, pertunjukan musik bawahtanah juga
semakin jarang diadakan karena semakin
dipersulitnya masalah perizinan dan kendala dalam
soal dana. Dapat dikatakan ini adalah sebuah fase
yang paling memprihatinkan dalam perkembangan
scene musik indie Bandung di mana kota yang
dinasbihkan sebagai barometer musik Indonesia ini
ternyata sama sekali tak mempunyai sarana yang
memadai sebagai gedung konser, juga tak
memiliki regulasi yang baik yang dapat
mengembangkan potensi seni warga
masyarakatnya. Pergelaran yang kemudian marak
adalah pergelaran setingkat pensi-pensi yang
umumnya menyasar musik-musik yang lagi tren.
Pertengahan tahun 2000 rock n’ roll modern dan
emocore semakin merajai panggung-panggung
musik Bandung.
Namun demikian, militansi kaum bawahtanah
bagaikan tak ada habisnya. Tak bisa manggung di
kelas Saparua, scene ini muali bergerak
perkomunitas. Mereka menggelar pertunjukan-
pertunjukan kecil, di tempat-tempat yang lebih
kecil, dengan audiens yang lebih sedikit, eksklusif,
dari mereka-oleh mereka-untuk mereka. Bebrapa
tempat yang sering digunakan adalah TRL Bar di
Braga, diskotik Nasa di Jalan Asia Afrika, dan
Gedung AACC di Braga. Pertunjukan-pertunjukan
juga kadang digelar di ruang-ruang inisiatif
semacam Commonroom, selain juga curi-curi di
ruang publik manapun yang mau bekerja sama
dengan komunitas. Anak punk misalnya, biasa
menggelar gigs di Villa Putih, Lembang. Atau anak-
anak Ujungberung Rebels dengan faksi baru
mereka Bandung Death Metal Syndicate yang
menggelar Bandung Deathfest berkolaborasi
dengan kelompok kaum adat Sunda. Ujungberung
Rebels sendiri adalah satu-satunya komunitas
bawahtanah yang mendapatkan pengakuan sebagai
kampong adapt oleh kelompok adat Sunda. Mereka
diberi nama “Kelompok Kampung Sunda
Underground.”
Untunglah, kondisi yang tidak kondusif ini
diimbangi dengan berkembangnya teknologi media
dan informasi. Salah satu contohnya adalah
perkembangan teknologi rekaman yang
memungkinkan band-band merekam musik mereka
dengan menggunakan komputer, sehingga tidak
lagi harus bersandar pada industri mainstream dan
produk impor. Saat ini, industri musik di Bandung
sudah biasa diproduksi di studio-studio kecil,
rumah, maupun di kamar kost. Selain itu,
perkembangan di bidang teknologi informasi juga
memudahkan setiap komunitas yang ada untuk
berhubungan dan mendapatkan informasi yang
mereka butuhkan. Melalui jaringan internet yang
sudah berkembang sejak tahun 1995-an, Kota
Bandung saat ini sudah menjadi bagian dari
jaringan virtual yang semakin membukakan pintu
menuju jaringan global.
Kehadiran MTV pun setidaknya memiliki peran
yang tidak sedikit, karena melalui stasiun inilah
beberapa band underground Bandung mendapat
kesempatan untuk didengar oleh publik secara
lebih luas. Selain itu, para presenter MTV siaran
nasional pun tidak segan-segan untuk memakai
produk-produk dari kloting lokal yang berasal dari
Kota Bandung, sehingga produk mereka menjadi
semakin populer. Dampaknya tentu saja tidak
kecil. Selama beberapa tahun terakhir warga Kota
Bandung mungkin sudah mulai terbiasa dengan
jalan-jalan yang macet pada setiap akhir minggu.
Selain menyerbu factory outlet, para pengunjung
yang datang ke Kota Bandung pun biasanya ikut
berbondong-bondong mendatangi distro-distro
yang ada, sehingga memicu pola pertumbuhan
yang penting, terutama dari segi ekonomi.
Pertumbuhan ini ternyaa tidak berbanding lurus
dengan penyediaan sarana-sarana yang dapat
menunjang kreativitas anak muda Bandung untuk
terus berkarya. Tidak adanya gedung konser
lambat laun terasa menjadi kendala yang
menghambat perkembangan dinamika musik di
Kota Bandung. Hal ini kemudian mencuat ketika
tanggal 9 Februari 2008, sebelas orang penonton
meninggal di pergelaran launching album band
Beside di Gedung AACC. Selama konser, semua
berjalan dengan sangat tertib hingga akhirnya dua
puluh menit setelah konser berakhir dan para
penonton yang berebut untuk keluar bentrok dengan
para penonton yang berebut ingin masuk ke dalam
arena pertunjukan tanpa tahu kalau gig telah
berakhir. Akhirnya, sebelas orang mati lemas dan
terinjak-injak dalam tragedi tersebut.
Tragedi ini pada kelanjutannya membukakan mata
banyak pihak bahwa betapa kita sudah terlalu
asyik sendiri tanpa menyadari jika komunitas ini
semakin berkembang dan perlu untuk dibina.
Betapa komunitas ini semakin besar dan
karenanya diperlukan sebuah ruang yang lebih
besar untuk menunjang perkembangan mereka.
Tragedi ini juga kemudian dijadikan sebagai ajang
konsolidasi antar komunitas kreatif di Kota
Bandung untuk maju bersama dalam sebuah
pergerakan ekonomi, sosial, budaya, dan politik
yang inklusif, integratif, aplikatif, dan strategis.
Dua di antara banyak sekali simpul yang terbentuk
secara alami dalam proses ini adalah Solidaritas
Independen Bandung (SIB) dan Bandung Creative
City Forum (BCCF) yang di dalamnya terdiri dari
komunitas berbagai disiplin keilmuan, dari musisi,
perupa, penulis, teknokrat, desainer, arsitek,
bikers, ahli hukum, pengusaha, mahasiswa, aktivis
lingkungan, penggiat film dan literasi, kelompok
kampung adat Sunda, dan lain-lain. Salah satu
manifestasi simpul-simpul komunitas ini adalah
digelarnya Helarfest 2008 yang merupakan sebuah
rangkaian 31 event yang diikuti komunitas-
komunitas kreatif Kota Bandung yang digelar
sepanjang Juli hingga Agustus 2008.
Scene Jakarta
Di Jakarta, komunitas music bawahtanah pertama
kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988.
Komunitas anak metal—demikian mereka disebut
karena saat itu istilah ‘underground’ atau ‘indie’
masih belum popular—biasa nongkrong di Pid Pub,
sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok
Indah, Jakarta Selatan. Krisna J. Sadrach pentolan
Sucker Head mengenang, anak-anak yang
nongkrong di sana oleh Tante Esther, pemilik Pid
Pub, sering diberi kesempatan untuk bisa
manggung. Setiap malam minggu biasanya selalu
ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan
kebanyakan band-band tersebut mengusung musik
rock atau metal. Beberapa band pasti tak asing
bagi kita, seperti Roxx, Sucker Head, Commotion Of
Resources, Painfull Death, Rotor, Razzle, Parau,
Jenazah, Mortus hingga Alien Scream. Beberapa
band kemudian bereinkarnasi di sini, misalnya
Commotion Of Resources yang merupakan cikal
bakal Getah dan Parau yang merupakan embrio
Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull
Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic
Mynded di Amerika Serikat bersama sutradara Rudi
Soedjarwo. Rotor sendiri dibentuk tahun 1992
setelah Irvan Sembiring merasa kurang ekstrim
bermain di Sucker Head.
Saat itu, Jakarta juga memiliki stasiun radio yang
khusus memutarkan lagu-lagu rock dan metal.
Radio tersebut adalah Radio Bahama, Radio Metro
Jaya, Radio SK, dan yang paling legendaris, Radio
Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’
Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari
pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan
sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash
metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke
Jakarta bulan Juni 1992. Selain radio, media
massa yang kerap mengulas berita-berita rock/
metal pada waktu itu adalah Majalah HAI, Tabloid
Citra Musik dan Majalah Vista.
Tempat nongkrong yang lain adalah di pelataran
Apotik Retna, daerah Cilandak, Jakarta Selatan.
Beberapa selebritis muda yang dulu sempat
nongkrong bareng anak-anak metal ini antara lain
Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina
Suwandi hingga Krisdayanti. Ayu Azhari bahkan
sempat dipersunting (alm) Jodhie Gondokusumo
(vokalis Getah dan Rotor) menjadi istri. Lokasi
lainnya adalah, tentu saja, Studio One Feel. Hampir
semua band bawahtanah Jakarta pasti pernah
berlatih di sini. Sementrara itu, tempat khusus
manggung selain Pid Pub adalah Black Hole dan
restoran Manari Open Air di Museum Satria
Mandala (cikal bakal Poster Café). Di luar itu, di
paling pentas seni SMA dan acara musik kampus
band-band bawahtanah Jakarta sering unjuk gigi
kemampua mereka. Beberapa pensi yang historikal
di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL
Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82),
musik kampus Universitas Nasional (Pejaten),
Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia
(Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi
Indonesia (Serpong), dan Universitas Jayabaya
(Pulomas).
Konser Sepultura (1992) dan Metallica (1993) di
Jakarta memberi kontribusi cukup besar bagi
perkembangan band-band metal sejenis, terutama
di Jakarta. Banyak band-band bawahtanah
kemudian dilirik mayor label dan dirilis albumnya.
Di antaranya adalah Roxxx self-tittled , Rotor album
Behind The 8th Ball (AIRO), dan Sucker Head
dengan album The Head Sucker .
Setelah era inilah baru benar-baner terbentuk
scene-scene bawahtanah dalam arti yang
sebenarnya di Jakarta. Konsolidasi scene sering
dilakukan di lantai 6 game center Blok M, di sebuah
resto waralaba, dan sebagian lainnya memilih
nongkrong di basement Blok Mall yang kebetulan
letaknya berada di bawah tanah. Aktifitas mereka
selain nongkrong dan bertemu kawan-kawan
sehasrat adalah bertukar informasi tentang band-
band lokal dan global, barter CD, jual-beli t-shirt,
hingga merencanakan pergelaran konser. Di era ini
hype musik metal digandrungi adalah death metal,
brutal death metal, grindcore, black metal hingga
gothic/doom metal. Beberapa band yang tumbuh
dari scene ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh,
Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of
Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan
masih banyak lagi. Tengkorak pada tahun 1996
malah tercatat sebagai band yang pertama kali
merilis mini album secara independen di Jakarta
dengan judul It’s A Proud To Vomit Him.
Tahun yang sama juga mencatatkan kelahiran
fanzine musik bawahtanah pertama di Jakarta,
Brainwashed Zine yang dirilis oleh Wenk Rawk.
Edisi pertamanya terbit 24 halaman dengan
menampilkan cover Grausig dan profil band
Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik
di komputer berbasis sistem operasi Windows 3.1
dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed
diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi
milik saudara Wenk Rawk. Di edisi-edisi
berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band
hardcore, punk, bahkan ska. Tahun 1997,
Brainwashed sempat dicetak ala majalah
profesional dengan cover penuh warna.
Brainwashed hanya bertahan hingga edisi ke tujuh
tahun 1999, sebelum akhirnya di tahun 2000 Wenk
Rawk menggagas e-zine di internet dengan nama
www.bisik.com. Media-media yang selanjutnya
lebih konsisten terbit di Jakarta adalah Morbid
Noise zine, Gerilya zine, Cosmic zine, dan
Rottrevore zine. Rottrevore merupakan kerja sama
Rio dari Jakarta dengan Ferly, scenester pionir
Ujungberung Rebels.
Tanggal 29 September 1996 adalah tanggal
bersejarah bagi scene musik bawahtanah Jakarta.
Hari itu, Poster Café milik rocker gaek Ahmad
Albar pertama kali menggelar acara musik
bawahtanah “Underground Session”. Acara ini
kemudian dirutinkan tiap dua minggu sekali pada
malam hari kerja. Dari café inilah kemudian lahir
band indie baru yang memainkan genre musik
berbeda dan lebih variatif, hingga ke ranah musik
brit/indie pop, hingga ska. Getah, Brain The
Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore,
Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun
Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten,
RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet
Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet
Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian
kecil band-band yang `kenyang’ manggung di
sana. Dari Bandung, Burgerkill adalah salah satu
langganan Poster Café. “Underground Session”
Poster Café juga yang merupakan panggung scene
bawahtanah bagi Burgerkill.
Setelah kerusuhan besar akibat bentrok anak-anak
punk dengan warga dan kepolisian dalam acara
Subnormal Revolution tanggal 10 Maret 1999,
Poster Café akhirnya ditutup. Tutupnya Poster Café
di luar dugaan malah menyuburkan venue-venue
alternatif bagi masing-masing scene musik indie.
Café Kupu- Kupu di Bulungan misalnya identik
dengan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark,
GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene
Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng
untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop.
Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di
Menteng sering disewa untuk acara garage rock-
new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang
hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals,
C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut,
Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya,
mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-
scene cuma Nirvana Café yang terletak di
basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di
tempat inilah, 13 Januari 2002, Puppen `menghabisi
riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah
yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”.
Scene Yogyakarta
Para scenester Yogyakarta ternyata tidak
ketinggalan dalam mengembangkan scene indie di
kotanya. Berbagai komunitas tumbuh di kota ini
antara awal hingga pertengahan tahun 1990an,
mulai dari komuitas musik metal, punk, hardcore,
musik elektronik, dan industrial. Salah satu
komunitas yang paling menonjol mungkin adalah
Jogja Corpse Grinder. Dari tangan scenester-
scenester komunitas inilah, sempat lahir fanzine
metal Human Waste, majalah Megaton, serta
pergelaran musik metal bawahtanah legendaris di
Yogyakarya, Jogja Brebeg. Dari pergelaran-
pergelaran musik metal bawhatanah yang digelar
komunitas inilah kemudian lahir band-band metal
bawahtanah lawas yang kemudian mewarnai scene
kota ini. Mereka antara lain adalah Death Vomit,
Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis,
dan Ruction.
Menginjak tahun 1997, scene punk, hardcore,
industrial di Yogyakarta mulai bernai
menampakkan taringnya. Sebutlah band-band yang
kemudian begitu menginspirasi kaum-kaum muda
di Yogyakarta seperti Sabotage, Something Wrong,
Noise For Violence, Black Boots, DOM 65,
Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank
Soekamti. Di ranah scene indie rock/pop, beberapa
nama yang patut di beri highlight adalah Seek Six
Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop, sampai The
Monophones. Dari Yogyaarta pula lahir band ska
yang sangat keren, Shaggy Dog. Band yang
dikontrak Sony ini pernah juga menjajal panggung
Eropa dalam tur Eropa mereka selama tiga bulan
penuh!
Dalam hal pergelaran musik, selain Jogja Brebeg,
Yogyakarta juga tercatat memiliki pergelaran khas
lainnya, yaitu Parkinsound. Gelaran ini adalah
ajang unjuk gigi band-band yang menganut aliran
musik elektronik. Bisa dikatakan, Parkinsound
merupakan festival musik elektronik yang pertama
di Indonesia. Beberapa band yang besar dari
festival Parkinsound adalah Bangkutaman, hingga
Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit,
Fucktory, Melancholic Bitch dan Mesin Jahat.
Scene Surabaya
Scene musik bawahtanah Surabaya mulai tumbuh
subur sejak lahirnya band-band independen
beraliran death metal dan grindcore sekitar
pertengahan tahun 1995. Band-band ini tumbuh
dari kultur festival tahunan Surabaya Expo di mana
band-band metal bawahtanah seperti Slowdeath,
Torture, Dry, Venduzor, dan Bushido manggung di
sana. Surabaya Expo pada kelanjutannya ternyata
mempersatukan band-band tersebut. Setelah event
itu, band-band tersebut sepakat untuk mendirikan
sebuah organisasi yang bernama Independen.
Organisasi ini bermarkas di daerah Ngagel Mulyo,
bertujuan untuk mewadahi band, sekaligus menjadi
pemersatu dan sarana sosialisasi informasi antara
musisi, band-band, atau pecinta msuik metal
bawahtanah. Markas Independen juga merupakan
sebuah studio milik band metal berpersonil cewek
semua, Retribeauty, di mana band-band metal
bawahtanah Surabaya sering berlatih di sana.
Anggota-anggota organisasi merupakan cikal
bakal terbentuknya scene bawahtanah metal di
Surabaya di masa-masa selanjutnya. Organisasi
ini sangat serius dalam mengembangkan
komunitasnya. Mereka malah memiliki divisi label
rekaman sendiri. Independen juga sempat
merencanakan sebuah pergelaran msuik metal
bawahtanah se-Surabaya di taman Remaja, namun
karma kurang konsolidasi ke dalam organisasi,
terpaksa rencana pergelaran ini batal. Independen
sendiri kemudian bubar bulan Desember 1997
ketika dinamika musik bawahtanah Surabaya
semakin hebat. Organisasi ini dibubarkan sebagai
upaya memperluas jaringan agar semakin tidak
tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak
komunitasnya.
Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya
Independen, divisi record label mereka tercatat
sempat merilis beberapa buah album milik band-
band death metal/grindcore Surabaya, misalnya
debut album milik Slowdeath yang berjudul From
Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction ,
September 1996, debut album Dry berjudul Under
The Veil of Religion yang rilis tahun 1997, album
Carnal Abuse milik Brutal Torture, Wafat album
Cemetery of Celerage , dan debut album Fear Inside
yang berjudul Mindestruction. Tahun-tahun
berikutnya barulah bawahtanah metal di Surabaya
dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl,
Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.
Organisasi pecinta metal ekstrim setelah
Independen adalah Surabaya Underground Society
(SUS). Organisasi ini dideklarasikan tepat di
malam tahun baru 1997 di kampus Universitas
1945, saat diselenggarakannya pergelaran Amuk I.
Hingga saat itu, Surabaya sedang demam band
black metal. Bahkan salah satu pionir death metal
Surabaya, Dry, berubah aliran musik menjadi black
metal dan semakin memberikan nuansa baru di
kancah musik bawahtanah Surabaya. Masa ini
black metal menguasai scene musik metal
bawahtanah Surabaya.
Merasa semakin kuat, anak-anak black metal
Surabaya meutuskan untuk memisahkan diri dari
SUS dan mendirikan organisasi tersendiri khusus
untuk anak-anak black metal. Organisasi anak-
anak black metal tersebut akhirnya berdiri dengan
nama Army of Darkness, bermarkas di daerah
Karang Rejo. Organisasi ini juga yang kemudian
menyebabkan SUS bubar beberapa bulan setelah
deklarasi pendiriannya. Army of Darkness juga
menyumbangkan semagat indie kepada scene
musik bawahtanah Surabaya. Didukung oleh massa
yang sangat banyak, black metal kemudian
mendominasi scene ekstrem metal di Surabaya.
Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-
event musik black metal karena banyaknya jumlah
band black metal yang muncul. Tercatat kemudian
event black metal yang sukses digelar di Surabaya
seperti Army of Darkness I dan Army of Darkness
II.
Berbeda dengan black metal, band-band death
metal selanjutnya memutuskan tidak ikut
membentuk organisasi baru. Namun tak berarti
pergerakan mereka melempem. Di bulan
September 1997 Amuk II kembali digeber, kini
digelar di di IKIP Surabaya. Event ini kemudian
mencatat sejarah sendiri sebagai event paling
sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal
dan black metal dari dalam dan luar kota tampil
memeriahkan gelaran itu sejak pagi hingga sore
hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000
orang.
Dengan dinamika tersebut, anak-anak death metal
kembai terpacu untuk membuah sebuah wadah
perkumulan pecinta death metal yang baru.
Tanggal 1 Juni 1998 berdirilah komunitas
bawahtanah Inferno 178 yang markasnya terletak
di daerah Dharma Husada, kawasan Jl. Prof. DR.
Moestopo. Di sinilah mereka bergabung membuat
divisi-divisi pengembangan komunitas mereka
sendiri. Ada distro, studio musik, indie label,
fanzine, warnet, serta event-event organizer yang
secara intens menggarap berbagai pergelaran
musik bawahtanah Surabaya. Event-event yang
pernah di gelar oleh Inferno 178 antara lain adalah,
Stop the Madness, Tegangan Tinggi I dan II, hingga
Bluekhutuq Live. Dari pergelaran-pergelaran
musik tersebut kemudian mencuat nama-nama
yang kini tak asing lagi bagi kita, seperti
Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System
Sucks, Freecell, dan Bluekuthuq. Inferno 178 juga
menggagas terbitnya fanzine Surabaya bernama
Post Mangled yang pertama—dan terakhir—kali
terbit sebagai sebuah isu di pergelaran Tegangan
Tinggi I di kampus Universitas Airlangga. Acara ini
tergolong kurang sukses karena pada waktu yang
bersamaan juga digelar sebuah event black metal.
Karena Post mangled tak juga terbit, para
scenester Surabaya kemudian menerbitkan Garis
Keras Newsletter sebagai antisipasi terjadinya
stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam
scene. Newsletter ini terbit pertama kali bulan
Februari 1999 dengan format fotokopian yang
memiliki jumlah 4 halaman. Isinya mengulas
berbagai aktivitas musik bawahtanah metal, punk
hingga hardcore di tingkat local Surabaya dan
Indonesia, serta scee global dunia. Garis Keras
Newsletter bertahan hingga edisi ke dua belas.
Di ranah label, hingga tahun 2000 Inferno 178
masih menggunakan nama Independen sebagai
nama label mereka. Memasuki tahun 2000 label
Inferno 178 Productions resmi memproduksi album
band punk tertua di Surabaya, The Sinners denga
albumnya Ajang Kebencian. Selanjutnya label
Inferno 178 Production ini kemudian lebih terfokus
untuk menggarap rilisan-rilisan berkategori non-
metal. Untuk mendukung rilisan album band-band
metal Surabaya, mereka membentuk sebuah label
tersendiri yang diberi nama Bloody Pigs Records.
Label rekaman ini diurus oleh Samir, kini gitaris
Tengkorak, dengan album kedua Slowdeath yang
berjudul Propaganda sebagai proyek pertamanya.
Proyek ini kemudian dilengkapi dengan pergelaran
konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower
bulan September 2000.
Scene Malang
Scene musik bawahtanah Malang muali bagkit dari
kubur sejak awal hingga pertengahan tahun
1990an. Tak namun, tak diragukan kebangkitan
scene metal bawahtanah lah yang pertama kali
enstimulasi pergerakan scene indie di Malang.
Adalah komuntas musik metal bawahtanah Total
Suffer Community (TSC) yang menjadi motor
penggerak bagi kebangkitan komunitas rock
bawahtanah di Malang sejak awal 1995. Disebut-
sebut juga, pergerakan scene musik bawahtanah
Malang sangat mirip dengan dinamika scene yang
terjadi di Kota Bandung. Hal ini dpat ditelaah dari
persamaan kondisi kedua kota. Baik Malang
maupun Bandung sama-sama beriklim sejuk,
didesain oleh desainer kota yang sama untuk
kepentingan pemukiman orang Eropa dan pusat
kegiatan militer, dan ini : banyak scenester Malang
yang digembleng langsung di kantung-kantung
komunitas musik bawahtanah Bandung decade
awal dan pertangahan 1990an.
Sebut saja Samack yang sempat “magang” di
Ujungberung serta klaster-klaster lain seperti
Cihapit, Cihampelas, dan Tamansari—pusat-pusat
metal di Kota Bandung. Atau scenester lain seperti
Afril, Budi, dan Arfan yang setia berhubungan
dengan scenester-scenester Bandung di masa-
masa awal kebangkitannya. Merekalah yang
kemudian membangun TSC yang merangkul
seluruhpecinta musk metal secara umum. Alhasil,
anggota TSC terdiri dari berbagai macam musisi
lintas-scene, walau tetap saja didominasi anak-
anak metal. Konser rock bawahtanah yang pertama
kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh
komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik
Bawahtanah tersebut digelar di Gedung Sasana
Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan
menampilkan band-band lokal Malang seperti
Bangkai, Ritual Orchestra, Sekarat, Knuckle Head,
Grindpeace, No Man’s Land, The Babies, dan juga
band-band asal Surabaya seperti Slowdeath dan
The Sinners.
Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri
kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets,
Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang
terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal
death metal di Indonesia. Album debut mereka
yang berjudul Maggot Sickness saat itu
menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung,
Yogyakarta dan Bali karena komposisinya yang
solid dan kualitas rekamannya yang top.
Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah
satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke
Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah
lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di
Indonesia. Namanya Mindblast Zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan
Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan
eks-vokalis band Grindpeace yang kemudian eksis
di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Kini,
arek-arek Malang punya webzine sendiri yang
digagas para pionir tadi. Namanya
www.apokalip.com yang menawarkan tempat lebih
luas untuk berbagi informasi dan menjalin
komunikasi antara sesame scenester di manapun
berada.
Scene Bali
Tak jauh dengan di Bndung, Jakarta, Yogyakarta,
Surabaya, dan Malang, di Bali pun yang menjadi
motor penggerak dinamika perkembangan scene
bawahtanah, maka kita akan melihat scene
metallah yang pertama kali menyodok permukaan.
Salah satu komunitas metal awal yang lahir di Bali
adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di
Denpasar. Di sinilah para scenester awal seperti
Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan
Sabdo Moelyo berkumpul dan membangun scene
Bali. Dede adalah editor majalah metal Megaton
yang terbit di Yogyakarta, Putra Pande adalah
salah satu pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kemudian hijrah ke Anorexia
Orgasm), Age adalah pengusaha distro yang
pertama di Bali sejak tahun 1998, dan Moel adalah
gitaris sekaligus vokalis band death metal etnik,
Eternal Madness yang aktif menggelar konser
bawahtanah di sana. Nama “1921” diambil dari
durasi siaran program musik metal mingguan di
Radio Cassanova, Bali yang berlangsung dari pukul
19.00 hingga 21.00 WITA.
Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-
masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel
bersama EM Enterprise, tanggal 20 Oktober 1996
menggelar konser musik bawahtanah besar
pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah
Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil
diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead,
Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius
hingga Death Chorus. Sementara band- band luar
Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad,
Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan
Death Vomit (Yogyakarta). Konser ini sukses
menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga
sekarang menjadi festival rock bawahtanah
tahunan di sana. Salah satu alumni Total Uyut yang
sekarang sukses besar ke seantero nusantara
adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead.
Mereka malah menjadi band punk pertama di
Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music
Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang
stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen,
The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes dan tentu
saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis
album ke tiga mereka dalam waktu dekat.
Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin
menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi
bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih
keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah
membuktikan kalau band `putera daerah’ pun
sanggup menaklukan kejamnya industri musik
ibukota. Untuk mendukung band-band Bali,
drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya
kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll
Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang
berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan
acara rock reguler di tempat ini.
Yang fenomenal mungkin adalah pencapaian Rudolf
Dethu, sosok scenescter kawakan dari Bali yang
sukses membawa S.I.D, band punk rockabilly dari
Bali dari band kecil kelas indie menjadi raksasa
punk nomer satu di Indonesia saat meriilis album
Kuta Rock City dan menjual albumnya sampai 300
ribu keping lewat Sony BMG. Dethu boleh dibilang
adalah seorang Malcom McLaren untuk band Sex
Pistols, seorang manajer yang sukses juga
membenahi fashion dari band miliknya. Selain
karena dirnya adalah pemilik kloting Suicide Glam
dengan desain bergaya punk dan rockabilly yang
saat ini butiknya tersebar sampai di Australia dan
Wurzburg, Jerman.
***
Maka demikianlah, semnagat bawahtanah terus
menerus hidup hingga hari ini. Beberapa konsep
refleksinya berevolusi dari underground di era
1990 awal, ke DIY di era 1990 pertengahan, hingga
independen/indie di era 2000an. Akses internet
yang semakin cepat hari ini juga sangat
mendukung dinamika perkembangan scene ini.
Akses informasi dan komunikasi yang terbuka
lebar membuat jaringan antar komunitas seluruh
Indonesia bahkan dunia semakin mudah dan
terbuka lebar. Band-band dan komunitas-
komunitas baru banyak bermunculan dengan
menawarkan gaya musik yang lebih beragam.
Trend indie label berlomba-lomba merilis album
band-band lokal juga merupakan dinamika yang
menggembirakan. Ratusan band baru lahir, puluhan
indie label ramai-ramai merilis album, ratusan
distro/kloting dibuka di seluruh Indonesia, ruang-
ruang inisiatif semakin gencar membuaka ranah-
ranah kreativitas scene, dan jejaring semakin
mantap meneguhkan potensi politik, social,
ekonomi, dantentu saja scene ini.
Namun itu adalah hasil. Yang tetap tak boleh
dilupakan adalah proses menuju itu semua. Di
dalamnya terkandung prinsip kebebasan dalam
berkarya, kemandirian dalam mencipta, otonom
dalam bersikap, berdiri tegak bicara lantang, dan
sisanya, biarlah sejarah yang mencatat semuanya.
Seperti kata Jim Morrison, each day is a drive thru
history …
Penulis adalah rekreasioner dan adiktivis akut,
editor MinorBacaanKecil dan Minor Books
Bacaan Lebih Lanjut :
Heryanto, Yulli. 2001. Sejarah Musik Underground
Bandung, 1990-2000 , skripsi. Bandung : Fakultas
Sastra, Unpad.
Iskandar, Gustaff H. 2003. “Fuck You, We are From
Bandung”, makalah untuk disampaikan di
Kongres Kebudayaan VII di Bukitinggi tanggal
20-22 Oktober 2003, pada sesi “Budaya Industri
dan Pergulatan Identitas”. www.hetero-
logia.blogspot.com
Kimung. 2007. Myself : Scumbag Beyond Life and
Death. Bandung : Minor Books
Pratama, Wahyudi. 2007. A Little “Underground Music
History” In Indonesia. www.mumet.shemut.net
________. 2006. Sejarah Musik Rock Indonesia.
www.first-things-first.blogspot.com
www.apokalip.com
www.burgerkillofficial.com
www.commonroom.info
www.kimun666.wordpress.com
www.megaloblast.blogspot.com
www.musikator.com
www.reno-asnanda.blogspot.com
www.supri-online.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar