Kamis, 15 November 2012

Sedikit sejarah tentang terong peot

Dalam banyak tulisan mengenai
sejarah Bekasi, sering disebut
mengenai penemuan rantai di Kobak
Rante, Desa Sukamakmur,
Kecamatan Sukakarya, Kabupaten
Bekasi, yang konon katanya, daerah Kobak Rante
adalah daerah pinggir
sungai yang cukup besar, hingga
mampu dilayari kapal. Jalur ini sering
digunakan patroli kapal
dari Sumedanglarang. Suatu waktu,
kapal bernama Terong Peot terdampar di sana,
sungai mengalami
pendangkalan, Terong Peot tidak bisa
berlayar, kayunya menjadi lapuk dan
tinggallah rantainya saja.
Selanjutnya, tidak ada lagi tulisan yang mengulas
mengenai Térong Péot itu. Entah mungkin karena
suatu kebetulan saja kapal itu melintas daerah
tersebut, atau mungkin pula karena sedikitnya
keterangan mengenai Térong Péot itu sendiri. Dan
memang, tak banyak tulisan ataupun keterangan
sejarah yang mengungkap keberadaan Térong Péot.
Karena itu, saya mencoba untuk mencari tahu ke
berbagai sumber dan menuliskan yang sedikit itu di
sini.
Sebelumnya, marilah kita menengok ke belakang
dulu, ke kerajaan Pajajaran pada masa Hindu. Di
mana ada seorang patih kerajaan yang bernama
Batara Cengkar Buana, yang setelah kerajaan
Pajajaran menjadi kerajaan islam, Batara Cengkar
Buana berganti nama menjadi Térong Péot atau
Embah Térong Péot yang dipusarakan di Dayeuh
Luhur, Sumedang.
Mungkin banyak orang yang baru mengenal dan
mendengar nama Prabu Munding Wangi. Prabu
Munding Wangi adalah ayah dari Prabu Kian Santang.
Prabu Munding Wangi-lah yang mengakhiri kerajaan
Pajajaran. Kemudian Prabu Munding Wangi
mengeluarkan wasiat yang sangat terkenal yaitu Uga
Wangsit Siliwangi. Penghilangan kerajaan Pajajaran
terjadi setelah Prabu Munding Wangi menyerahkan
seluruh kerajaan Pajajaran termasuk isteri, rakyat
dan 4 (empat) orang patihnya yang terkenal yaitu
Sanghyang Hawu, Sanghyang Konang Hapa, Batara
Nanggana dan Batara Cengkar Buana kepada Prabu
Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang. Sejak saat itu
nama kerajaannya menjadi Kerajaan Galeuh Pakuan
Pajajaran dan selanjutnya menjadi Kerajaan
Sumedang Larang.
Sebagai raja yang beragama Hindu, mungkin bagi
banyak orang dikatakan aneh. Anehnya ? Beliau
menyerahkan kekuasaan Kerajaan Pajajaran kepada
Prabu Geusan Ulun dengan satu syarat yaitu seluruh
rakyat Pajajaran dan Sumedang Larang termasuk 4
orang patihnya diharuskan masuk Islam. Sejak
menjadi kerajaan Islam itulah keempat patihnya
berubah nama menjadi Patih Jaya Perkasa, Konang
Hapa (Mbah Jenggot), Nanggana dan Terong Peot.
Ketika ditanya oleh Prabu Geusan Ulun, mengapa
syaratnya masuk Islam sedangkan Prabu Munding
Wangi sendiri tetap menganut agama Hindu yang
kemudian menghilang (konon ngahyang alias
menghilang entah kemana). Jawaban beliau sungguh
mengesankan yaitu :
”Aku telah mengetahui akan datangnya ajaran
penyempurna dari Sanghyang Wenang, maka itu aku
menginginkan anak cucuku menjadi manusia yang
sempurna dan kelak menjadi penghuni surga nomor
utama (Nirwana dalam Hindu). Ingat Geusan Ulun,
ibarat awal mula air. Dari mata air mengalir ke
sungai kecil, menjadi sungai besar, bermuara ke laut
dan air di laut mengalami proses kondensasi
menjadi hujan di gunung sehingga menjadi mata air.
Jadi awal dan akhirnya jelas. Semuanya kuserahkan
kepada anak cucuku untuk memilih. Mana yang
terbaik dan diyakini oleh mereka“.
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk
menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri.
Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota
kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian
Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi
Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi
(Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan
Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun
mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial,
budaya, agama, militer dan politik pemerintahan.
Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya,
Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga
Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria
Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun,
Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam
masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan
Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam
rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena
penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada
saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu
Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau
mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu
Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan
rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang
disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut
menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja
Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta
perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan,
dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di
Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga
Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu
Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara
Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan,
Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Cengkar Buana
atau Embah Térong Péot. Walaupun pada waktu itu
tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten
(wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan
terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota
tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat
dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan
menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang,
sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang
menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai
Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali
(kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah
utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya
Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak
oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa
terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan
Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu
Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu
mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang
ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten.
Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada
masa kejayaannya, banyak kerajaan- kerajaan kecil
di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada
Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu
Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan
Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak
dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan
diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).
Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke
Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu
dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan
disambut dengan gembira karena mereka berdua
sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik
serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun
disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri
Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya
jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam
perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya,
Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan dan karena
Ratu
Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya
dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu,
Panembahan Ratu marah besar dan mengirim
pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya
sehingga terjadi perang antara Cirebon dan
Sumedang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta
kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan
menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari
Pajang- Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung
dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu
bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan
wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang
Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena
peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung
Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang
pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan
Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan
yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya
tersebut ia memiliki lima belas orang anak :
1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal
bakal bupati Sumedang. 2. Raden Aria Wiraraja, di
Lemahbeureum, Darmawangi. 3. Kiyai Kadu Rangga
Gede.
4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cunduk Kayu. 5.
Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning. 6. Raden
Ngabehi Watang.
7. Nyi Mas Demang Cipaku.
8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi.
9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum. 10. Rd.
Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan. 11.
Nyi Mas Rangga Pamade.
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung.
13. Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari
Panemabahan Ratu. 14. Pangeran Tumenggung
Tegalkalong. 15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di
Dayeuh Luhur. Prabu Geusan Ulun merupakan raja
terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena
selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat
raja turun menjadi adipati (bupati).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar