Minggu, 09 Juni 2013

Perbaikan Ibadah

Allah ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Para nabi dan rasul pun diutus untuk mengajari umat manusia bagaimanakah tata cara yang benar dalam beribadah kepada-Nya.

Ibadah dibangun di atas dalil dan hujjah, bukan di atas pemikiran, perasaan, atau hawa nafsu manusia. Oleh sebab itu sebagai hamba Allah kita punya kewajiban yang mulia di atas muka bumi ini yaitu terusmenimba ilmu agar ibadah yang kita jalani benar-benar sesuai dengan aturan dan kehendak-Nya.

[1] Pengertian Ibadah

Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata, “Ibadah merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini artinya sholat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun budak dari kalangan manusia atau binatang piaraan, berdoa, berdzikir, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya itu semua adalah ibadah. Demikian juga kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut kepada Allah, inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridha dengan takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan semisalnya adalah termasuk ibadah kepada Allah.” (Lihat al-’Ubudiyah, hal. 6 cet. Maktabah al-Balagh)

Imam Ibnu Katsir rahimahullahberkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahmenerangkan bahwa ibadah merupakan perendahan diri kepada Allah yang dilandasi rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan dalam syari’at-Nya (Lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 23 cet. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah)

[2] Pilar Tegaknya Ibadah

Syaikh Shalih al-Fauzanmenegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandungperendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (Lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara;cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (Lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahberkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-’Ilmu)

Syaikh as-Sa’di rahimahullahberkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

[3] Syarat Diterimanya Ibadah

Ibnul Qoyyim menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu:Untuk siapa? dan Bagaimana?Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sungguh Kami akan menanyai mereka semuanya tentang apa saja yang mereka amalkan.” (QS. al-Hijr: 92-93). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Maka benar-benar Kami akan menanyai orang-orang yang rasul itu diutus kepada mereka dan Kami juga pasti akan menanyai para utusan itu, maka akan Kami kisahkan kepada mereka dengan penuh pengetahuan dan tidaklah Kami tidak menyaksikan -apa yang telah mereka lakukan-.” (QS. al-A’raaf: 6-7) (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salihdan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110).

Imam Ibnu Katsir rahimahullahmenerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah. Baca juga al-Qawa’id wa al-Ushul aj-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, hal. 40-42 cet. Dar al-Wathan)

Ibnu ‘Ajlan rahimahullah berkata, “Amal tidak akan baik kecuali dengan tiga hal; ketakwaan kepada Allah, niat yang baik, dan benar/sesuai tuntunan.” Fudhail bin Iyadhrahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).

Sa’id bin Jubair rahimahullahberkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

Imam Bukhari rahimahullahmembuat sebuah bab dengan judul Bab. Ilmu sebelum ucapan dan amalan (Lihat Shahih al-Bukhari cet. Maktabah al-Iman, hal. 30). Ibnul Munayyir rahimahullah mengatakan, “Beliau -Imam Bukhari- ingin menjelaskan bahwa ilmu menjadisyarat sah ucapan dan amalan. Keduanya tidak dinilai apabila tidak dilandasi ilmu. Oleh sebab itu ilmu lebih didahulukan di atas keduanya; sebab ilmu merupakan faktor yang meluruskan niat, dan niat itulah yang menentukan kelurusan amalan.” (Lihat Fath al-Bari [1/195] cet. Dar al-Hadits)

[4] Intisari Ibadah

Dari an-Nu’man bin Basyirradhiyallahu’anhuma, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman:Berdoalah kalian kepada-Kuniscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat [3372] dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani)

Dari Abu Hurairahradhiyallahu’anhu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah ta’ala selain doa.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat [3370], dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani, al-Hakim dalam al-Mustadrak [1852], beliau berkata: Hadits ini sanadnya sahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Seutama-utama ibadah adalah doa.” Lalu beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabbmu berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60) (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1856])

Intisari ibadah adalah doa/permintaan. Tidaklah seorang hamba melakukan suatu bentuk ibadah melainkan diamengharapkan pahala dan keselamatan dari siksa. Ini artinya secara lisanul hal itu menunjukkan bahwa apa yang dia lakukan sebenarnya juga mengandung doa/permintaan. Adakalanya perbuatan (amal ibadah) itu juga disertai doa dengan lisannya (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/162] cet. Maktabah al-Ilmu, lihat juga al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 37)

Secara bahasa, doa memiliki beberapa makna, diantaranya: tuntutan dan permintaan, ibadah. Diantara para ulama yang memaknai doa dengan ibadah adalah Abu Ishaq az-Zajaj, ad-Damighani, Ibnul Jauzi, dan al-Fairuz Abadi (lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 34-35)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106). Imam Abul Qasim al-Qusyairirahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di dalam ayat ini adalahibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun bersama -doa kalian kepada- Allah.” (QS. al-Jin: 18). Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah menjelaskan, “Artinya janganlah kalian beribadah kepada siapapun selain kepada-Nya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 15, lihat juga keterangan serupa oleh Syaikh al-Utsaimin dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 35)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. al-Mukminun: 117). Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/367] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

[5] Larangan Beribadah Kepada Selain Allah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun bersama -doa kalian kepada- Allah.” (QS. al-Jin: 18).

Syaikh Shalih as-Suhaimihafizhahullah menjelaskan, “Artinya janganlah kalian beribadah kepada siapapun selain kepada-Nya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 15, lihat juga keterangan serupa oleh Syaikh al-Utsaimin dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 35)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. al-Mukminun: 117). Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/367] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memenuhi keinginannya hingga hari kiamat. Sementara mereka itu lalai dari doa yang dipanjatkan kepada mereka. Tatkala umat manusia dikumpulkan -di hari kiamat- maka sesembahan mereka itu justru menjadi musuh mereka. Dan mereka sendiri mengingkari peribadahan yang ditujukan kepada dirinya.” (QS. al-Ahqaf: 5-6)

[6] Hakikat Ikhlas

Siapakah orang-orang yang ikhlas?Tsa’lab berkata, “Yaitu orang-orang yang memurnikan ibadahnya untuk Allah ta’ala, dan mereka itulah orang-orang yang dipilih oleh Allah ‘azza wa jalla. Sehingga orang-orang yang ikhlas itu adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang ikhlas adalah orang-orang yang bertauhid. Adapun yang dimaksud dengan kalimatul ikhlas adalah kalimat tauhid.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 85).

al-Munawi berkata, “Ikhlas adalah membersihkan hati dari berbagai kotoran yang merusak kejernihannya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 85). al-Jurjani berkata, “Ikhlas yaitu kamu tidak ingin mencari saksi atas amalmu kepada selain Allah.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86). Abu Utsman al-Maghribi berkata, “Ikhlas adalah melupakan pandangan orang dengan senantiasa memperhatikan pandangan Allah. Barangsiapa yang menampilkan dirinya berhias dengan sesuatu yang tidak dimilikinya niscaya akan jatuh kedudukannya di mata Allah.” (lihatTa’thir al-Anfas, hal. 86)

Oleh sebab itu, seorang muslim tidak akan rela mempersembahkan ibadah apa pun kepada selain Allah, entah itu sholat, sembelihan, ataupun ibadah-ibadah yang lain. Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).

[7] Ciri-Ciri Keikhlasan

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in- mengatakan, “Aku telah berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa imannya sebagaimana iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secaramu’allaq dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikh-nya, lihat Fath al-Bari [1/136-137] cet. Dar al-Hadits)

Orang yang benar-benar ikhlas merasa dirinya belum ikhlas. as-Susi berkata, “Ikhlas itu adalah dengan tidak memandang diri telah ikhlas. Karena barangsiapa yang mempersaksikan kepada orang lain bahwa dirinya benar-benar telah ikhlas itu artinya keikhlasannya masih belum sempurna.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 86).

Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullahberkata, “Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254)

Ibnu Abid Dunya meriwayatkan, bahwa Ayyub as-Sikhtiyanirahimahullah berkata, “Apabila diceritakan tentang orang-orang salih, maka aku merasa bukan termasuk golongan mereka.” Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata ketika berdoa di Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau tolak doa orang-orang gara-gara diriku.” (lihat al-Ighatsah, hal. 115).

Suatu saat ada seorang lelaki berkata kepada Malik bin Dinar, “Wahai orang yang riya’!”. Maka beliau menjawab, “Sejak kapan kamu mengenal namaku? Tidak ada yang mengenal namaku selain kamu.” (lihatal-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 93)

Sufyan bin Uyainah berkata: Abu Hazim rahimahullah berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu lebih daripada kesungguhanmu dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231). al-Fudhail bin Iyadhrahimahullah berkata, “Ilmu dan amal terbaik adalah yang tersembunyi dari pandangan manusia.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 231).

Imam asy-Syafi’i rahimahullahberkata, “Aku sangat ingin orang-orang mengetahui ilmu ini dalam keadaan tidak disandarkan kepadaku satu huruf pun darinya.” (lihatTa’thirul Anfas, hal. 254)

Dari Yazid bin Abdullah bin asy-Syikhkhir, dia menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Tamim ad-Dari, “Bagaimana sholat malammu?”. Maka beliau pun marah sekali, beliau berkata, “Demi Allah, sungguh satu raka’at yang aku kerjakan di tengah malam dalam keadaan rahasia itu lebih aku sukai daripada aku sholat semalam suntuk kemudian hal itu aku ceritakan kepada orang-orang.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 234)

Ibrahim bin Adham rahimahullahberkata, “Jangan bertanya kepada saudaramu tentang puasanya. Sebab kalau dia menjawab, ‘Aku sedang puasa.’ nafsunya akan senang dengannya. Dan apabila dia menjawab, ‘Aku tidak puasa.’ nafsunya pun merasa sedih. Sedangkan keduanya adalah termasuk ciri-ciri riya’. Perbuatan itu akan mencoreng muka yang ditanya dan membuka aurat oleh penanya.” Oleh sebab itu apabila Ibrahim bin Adham ditawari makan sementara beliau sedang puasa (sunnah) beliau pun makan dan tidak mau berkata, “Saya sedang puasa.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 245-246)

Ibrahim at-Taimi adalah seorang ulama yang suka mengenakan pakaian ala anak muda. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kalau beliau itu ulama kecuali sahabat-sahabatnya. Beliau pernah berkata, “Orang yang ikhlas adalah yang berusaha menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan kejelekan-kejelakannya.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252)

[8] Akibat Tidak Ikhlas

Abu Hurairah radhiyallahu’anhumenceritakan: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah: [Pertama] Seorang lelaki yang telah berjuang demi mencari mati syahid. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.” Lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. [Kedua] Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya, Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. [Ketiga] Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali jawabannya, Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.”Lalu Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim no. 1905)

[9] Menjauhi Bid’ah

Sebagaimana orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang yang tidak ittiba’ -alias berbuat bid’ah- maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’ (Lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhyar Syarh Jawami’ al-Akhbar karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hal. 14 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah, tahun 1423 H).

Oleh sebab itu para ulama, di antaranya Fudhail bin ‘Iyadhrahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik) dalam surat al-Mulk [ayat 2] sebagai amalan yang paling ikhlas dan paling benar (Lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93).

Ikhlas jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti sunnah/ajaran Nabi (Lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbalirahimahullah, hal. 19 cet. Dar al-Hadits, tahun 1418 H). Bukan dengan cara-cara bid’ah.

Bid’ah adalah tata cara beragamayang diada-adakan dan menyaingi syari’at, dimaksudkan dengannya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah ta’ala (lihat al-Bid’ah, Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah, hal. 13).

Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syari’at Islam ini mengatur niat dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik pula (Lihat pula Ighatsat al-Lahfan min Masha’id asy-Syaithan, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 16 cet. Dar Thaibah, tahun 1426 H). Islam tidak mengenal kaidah ala Yahudi; ‘tujuan menghalalkan segala cara’.

Dakwah Salaf

Saudaraku seakidah yang dimuliakan Allah…

Salaf berarti pendahulu. Yang dimaksud dengan salaf di sini adalah para pendahulu yang salih (as-Salaf ash-Shalih), yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah tiga generasi terbaik umat ini.

Sehingga yang dimaksud dengan dakwah salaf tidak lain adalah ajakan untuk menerapkan Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh mereka.

Dalam kesempatan ini, kami akan berusaha untuk memberikan gambaran tentang dakwah salaf agar tidak muncul kesalahpahaman diantara kaum muslimin tentang dakwah ini.

Hal ini sangat perlu untuk diterangkan dikarenakan begitu banyak tuduhan yang tidak pada tempatnya yang diarahkan kepada dakwah ini. Sebagian bahkan sampai menuduh bahwa dakwah salaf ini adalah dakwah yang memecah belah umat….

[1] Salafus Shalih, Salafi dan Salafiyah

Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu parasahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Jalan yang mereka tempuh adalah kebenaran, sedangkan menyimpang dari jalan mereka adalah sumber kesesatan.

Adapun istilah salafi merupakan penisbatan/penyandaran diri kepada salafus shalih. Hal itu sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama semacam as-Sam’ani dalam kitabnyaal-Ansaab dan adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’ .Seperti contohnya pujian adz-Dzahabi terhadap Imam ad-Daruquthni, “Lelaki ini tidak pernah menyentuh ilmu kalam/filsafat dan perdebatan. Beliau pun tidak suka membicarakannya. Beliau adalahseorang salafi.” (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 12 oleh Amru Abdul Mun’im Salim)

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili hafizahullah mengatakan, “Bukan termasuk perbuatan bid’ah barang sedikitpun apabila Ahlus Sunnah menamai dirinya Salafi. Sebab pada hakekatnya istilah Salaf sama persis artinya dengan isitlahAhlus Sunnah wal Jama’ah…” (Mauqif Ahlis Sunnah, 1/63. Dinukil melalui Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf).

Maka seorang salafi adalah setiap orang yang mengikuti Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman salafush salih serta menjauhi pemikiran yang menyimpang dan bid’ah-bid’ah dan tetap bersatu dengan jama’ah kaum muslimin bersama pemimpin mereka. Itulah hakekat salafi, meskipun orangnya tidak menamakan dirinya dengan istilah ini (lihat kalimat penutup risalah Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf karya Dr. Milfi Ash-Sha’idi).

Salafiyah adalah sebuahmanhaj/metode beragama. Ia bukanlah sekumpulan orang atau suatu tanzhim/organisasi tertentu, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakanpenisbatan yang terpuji. Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para Sahabat Nabi, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fiqh, pemahaman, tata cara ibadah, akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam haltazkiyatun nafs/penyucian jiwa (lihatal-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13)

Syaikhul Islam mengatakan, “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri dan menyandarkan diri kepadanya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Sebab madzhab salaf itu tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 16)

[2] Dakwah Harus Dilandasi Ilmu

Salah satu sebab yang banyak mengacaukan dakwah ini adalah ketiadaan ilmu. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. karena sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalahketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82]).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badrhafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihatSyarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah -hai Muhammad-: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan tergolong bersama golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

[3] Kembalikan Kepada al-Kitab dan as-Sunnah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59).

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah berkata, “Apabila umat manusia kembali kepada al-Kitab dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya persatuan itu akan terwujud. Sebagaimana hal itu telah terjadi pada generasi awal umat ini, padahal mereka dahulu -sebelumnya- berpecah-belah…” (lihatal-Ishbah fi Bayani Manhaj as-Salaf fi at-Tarbiyah wa al-Ishlah, hal. 82).

Beliau juga menekankan, “Tidak akan bisa menyatukan hati dan mempersatukan umat manusia kecuali dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Kalau tanpa itu maka tidak mungkin mereka bisa bersatu…” (lihat al-Ishbah, hal. 82).

Syaikh Abdullah al-Ubailanhafizhahullah berkata, “Dengan tiga perkara berikut ini, maka persatuan itu akan terlaksana; [1] aqidah yang sahihah, [2] kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika berselisih, [3] taat kepada ulil amri (umara/ulama) serta selalu menginginkan kebaikan bagi mereka dan menasehati dengan cara yang bijak.”(lihat al-Ishbah, hal. 84).

[4] Menjauhi Perpecahan dan Fanatisme Buta

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan, dan untuk mereka itulah siksaan yang sangat pedih.” (QS. Ali Imran: 105).

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ini merupakan larangan bagi kita supaya tidak menjadi sebagaimana orang-orang jahiliyah yang suka berpecah-belah dalam agama mereka dan berselisih. Namun, hal itu terjadi bukan karena kebodohan mereka, akan tetapi hal itu timbul karena hawa nafsu. “Setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan”. Mereka meninggalkan keterangan-keterangan tersebut dan justru mengikuti kemauan hawa nafsunya. Sehingga faktor yang mendorong mereka menuju perpecahan ini adalah hawa nafsu -kita berlindung kepada Allah darinya-. Mereka telah mempertuhankan hawa nafsu mereka sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla…” (lihat Syarh Masa’il Jahiliyah, hal. 36-37)

Syaikh Abdullah al-Ubailanhafizhahullah berkata, “Mereka -Ahlus Sunnah- meyakini bahwa sebab utama perpecahan adalah sikap sektarian dansuka bergolong-golongan pada diri sebagian kaum muslimin terhadap suatu kelompok tertentu, jama’ah tertentu, atau sosok tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia.” (lihat al-Ishbah, hal. 85).

Suatu ketika, Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma ditanya, “Kamu berada di atas millah Ali atau millah Utsman?”. Maka beliau menjawab, “Bahkan, saya berada di atas millah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Ishbah, hal. 86)

[5] Menempuh Sebab-Sebab Menuju Persatuan

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah berkata, “Para sahabat dahulu biasa meninggalkan pendapat pribadi mereka, meskipun pendapat itu dibangun di atas al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka meninggalkannya apabila hal itu menjadi sebab tercerai-berainya persatuan. Lihatlah, bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud seorang sahabat yang mulia -semoga Allah meridhainya- tatkala Amirul Mukminin Utsmanradhiyallahu’anhu menyempurnakan sholat (tidak mengqashar) di Mina. Padahal, Ibnu Mas’udradhiyallahu’anhu berpendapat qashar di Mina. Meskipun demikian, apabila beliau sholat di belakang Utsman radhiyallahu’anhu maka beliau menyempurnakan (tidak qashar). Ketika ditanyakan kepadanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Wahai putraku, perselisihan itu buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim).” (lihat al-Ishbah, hal. 97).

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah berkata, “Memang terkadang sesuatu yang lebih utama ditinggalkan kepada sesuatu yang kurang utama, hal itu apabila dengan sesuatu yang kurang utama itu akanmembuahkan persatuan. Di saat semacam itu, wajib baginya untuk mengalah dari menginginkan sesuatu yang lebih utama menuju sesuatu yang kurang utama. Hal itu perlu dilakukan demi utuhnya kesatuan dan persatuan kaum muslimin…”(lihat al-Ishbah, hal. 98).

Beliau menambahkan, “Hal itu -dianjurkan untuk mengalah- berlaku dengan catatan selama tidak merusak agama. Adapun apabila menimbulkan kerusakan agama, maka tidak boleh. Oleh karenanya wajib bagi seorang muslim mengalah dari memaksakan pendapat dan ijtihadnya, meskipun menurutnya apa yang dia yakini itulah yang lebih utama. Lantas, bagaimana lagi apabila ternyata apa yang dianut oleh jama’ah (mayoritas umat/ulama) adalah sesuatu yang lebih utama, sedangkan apa yang diyakini oleh orang yang menyelisihi ini adalah sesuatu yang kurang utama, atau bahkan sesuatu yang tidak benar?!.” (lihat al-Ishbah, hal. 98).

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu seharusnya para penuntut ilmu dan orang-orang yang menyandarkan diri kepada ilmu mencamkan baik-baik kaidah ini; yaitu apabila seseorang muslim memiliki pendapat dan ijtihad yang seandainya ditampakkan kepada orang banyak menimbulkan kekacauan dan persengketaan, maka semestinya dia tidak perlu menampakkannya. Cukuplah dia mengikuti apa yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Sebab hal itu lebih menjamin -kebaikan- baginya dan lebih mendekati kebenaran.” Syaikh Abdullah al-Ubailanmengomentari ucapan terakhir Syaikh al-Fauzan di atas, “Benar, hal ini tidak ragu lagi sangat diperlukan. Apalagi dalam kondisi berkecamuknya fitnah.” (lihat al-Ishbah, hal. 98).

[6] Bersemangat Mencari Kebenaran

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kebenaran yang belum kita ketahui jumlahnya jauh berkali lipat lebih banyak daripada kebenaran yang sudah kita ketahui. Kebenaran yang sudah kita ketahui dan tidak ingin kita kerjakan kerena faktor meremehkan atau malas bisa jadi seimbang jumlahnya dengan kebenaran yang ingin kita kerjakan, atau bahkan jauh lebih banyak, atau kurang dari itu. Begitu pula,kebenaran yang tidak sanggup kita lakukan dibandingkan dengan yang sanggup kita lakukan pun demikian keadaannya. Kebenaran yang sudah kita ketahui secara global pun mungkin masih terlalu banyak yang tidak kita ketahui rinciannya. Oleh sebab itulah maka kita membutuhkanhidayah yang sempurna.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9)

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbadhafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap raka’at sholat; baik sholat wajib maupun sholat sunnah.” (lihatQathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 114)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah akan bersama dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahberkata, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad/kesungguh-sungguhan. Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Maka barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini akan Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang akan mengantarkan kepada surga-Nya. Dan barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan sebagian petunjuk sekadar dengan jihad/perjuangan yang dia abaikan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518], al-Fawa’id, hal. 58)

[7] Bersemangat Mengajak Kepada Kebenaran

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya engkau -Muhammad-tidak bisa memberikan hidayahkepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang kuasa memberikan hidayah kepada orang yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash: 56).

Sa’id bin al-Musayyabmeriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirahtelah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku.Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib,apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah diatetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkanlaa ilaha illallah… (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 24)

Dari Sahl bin Sa’dradhiyallahu’anhu, suatu ketika dalam peperangan Khaibar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sungguh, aku akan memberikan bendera ini kepada seorang pria yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan, dia mencintai Allah dan rasul-Nya, dan Allah dan rasul-Nya pun mencintainya.” Sahl berkata: Maka di malam harinya orang-orang pun membicarakan siapakah kira-kira di antara mereka yang akan diberikan bendera itu. Sahl berkata: Ketika pagi harinya, orang-orang hadir dalam majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing dari mereka sangat mengharapkan untuk menjadi orang yang diberikan bendera itu. Kemudian, Nabi bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”. Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit di kedua matanya.” Sahl berkata: Mereka pun diperintahkan untuk menjemputnya. Kemudian, dia pun didatangkan lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi kedua matanyadan mendoakan kesembuhan baginya maka sembuhlah ia. Sampai-sampai seolah-olah tidak menderita sakit sama sekali sebelumnya. Maka beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita?”. Beliau menjawab, “Berjalanlah dengan tenang, sampai kamu tiba di sekitar wilayah mereka. Lalu serulah mereka untuk masuk Islam dan kabarkan kepada mereka hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, apabila Allah menunjuki seorang saja melalui dakwahmu itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki onta-onta merah.” (HR. Bukhari no. 2942 dan Muslim no. 2406)

[8] Islam Telah Sempurna

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Akusempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. al-Ma’idah: 3).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah nikmat terbesar dari Allah ta’ala untuk umat ini. Dimana Allah ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan lagi agama selainnya, dan juga tidak butuh nabi selain nabi mereka -semoga salawat dan keselamatan terus terlimpah kepada beliau-. Oleh sebab itulah Allah ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup nabi-nabi dan diutus kepada segenap jin dan manusia…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [3/20])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).

Syaikh as-Sa’di rahimahullahberkata, “Artinya, siapa pun yang beragama kepada Allah dengan selain agama Islam padahal Islam itu jelas-jelas telah diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, maka amalannya pasti tertolak dan tidak akan diterima. Agama Islam itulah ajaran yang mengandung sikapkepasrahan/istislam kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, selama seorang hamba tidak memeluk agama ini maka dia belum memiliki sebab keselamatandari azab Allah dan tidak memiliki sebab untuk meraih kejayaan berupa limpahan pahala dari-Nya. Dan semua agama selainnya adalah batil.” (lihatTaisir al-Karim ar-Rahman, hal. 137)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).

Ibnu Katsir rahimahullahmenjelaskan, “Ini adalah berita dari Allah ta’ala bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi-Nya dari siapa pun selain agama Islam. Hakikat  Islam adalah mengikuti para rasuldengan menjalankan ajaran yang diturunkan Allah kepada mereka di setiap masa sampai akhirnya mereka -para rasul- ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menutup semua jalan menuju-Nya kecuali jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memeluk agama selain yang disyari’atkan oleh beliau maka tidak diterima…” (lihatTafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/19] cet. Maktabah at-Taufiqiyah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum yang ummi/buta huruf (yaitu orang-orang musyrik); ”Maukah kalian masuk Islam?”. Apabila mereka masuk Islam, sungguh mereka telahmendapatkan petunjuk. Namun apabila mereka justru berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha melihat semua hamba.” (QS. Ali Imran: 20).

Imam Ibnu Katsir rahimahullahberkata, “Ayat ini dan juga ayat-ayat lain yang serupa merupakan penunjukan yang sangat tegas mengenai keumuman pengutusan beliau -semoga salawat dan keselamatan tercurah kepadanya- kepada semua manusiasebagaimana hal itu telah diketahui sebagai bagian dari agama secara pasti, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil al-Kitab maupun as-Sunnah dalam banyak ayat dan hadits.” (lihatTafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/20])

[9] Menjunjung Tinggi Sunnah/Ajaran Nabi

Dakwah Salaf

Saudaraku seakidah yang dimuliakan Allah…

Salaf berarti pendahulu. Yang dimaksud dengan salaf di sini adalah para pendahulu yang salih (as-Salaf ash-Shalih), yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Mereka itulah tiga generasi terbaik umat ini.

Sehingga yang dimaksud dengan dakwah salaf tidak lain adalah ajakan untuk menerapkan Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh mereka.

Dalam kesempatan ini, kami akan berusaha untuk memberikan gambaran tentang dakwah salaf agar tidak muncul kesalahpahaman diantara kaum muslimin tentang dakwah ini.

Hal ini sangat perlu untuk diterangkan dikarenakan begitu banyak tuduhan yang tidak pada tempatnya yang diarahkan kepada dakwah ini. Sebagian bahkan sampai menuduh bahwa dakwah salaf ini adalah dakwah yang memecah belah umat….

[1] Salafus Shalih, Salafi dan Salafiyah

Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu parasahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Jalan yang mereka tempuh adalah kebenaran, sedangkan menyimpang dari jalan mereka adalah sumber kesesatan.

Adapun istilah salafi merupakan penisbatan/penyandaran diri kepada salafus shalih. Hal itu sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama semacam as-Sam’ani dalam kitabnyaal-Ansaab dan adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lamin Nubala’ .Seperti contohnya pujian adz-Dzahabi terhadap Imam ad-Daruquthni, “Lelaki ini tidak pernah menyentuh ilmu kalam/filsafat dan perdebatan. Beliau pun tidak suka membicarakannya. Beliau adalahseorang salafi.” (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 12 oleh Amru Abdul Mun’im Salim)

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili hafizahullah mengatakan, “Bukan termasuk perbuatan bid’ah barang sedikitpun apabila Ahlus Sunnah menamai dirinya Salafi. Sebab pada hakekatnya istilah Salaf sama persis artinya dengan isitlahAhlus Sunnah wal Jama’ah…” (Mauqif Ahlis Sunnah, 1/63. Dinukil melalui Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf).

Maka seorang salafi adalah setiap orang yang mengikuti Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman salafush salih serta menjauhi pemikiran yang menyimpang dan bid’ah-bid’ah dan tetap bersatu dengan jama’ah kaum muslimin bersama pemimpin mereka. Itulah hakekat salafi, meskipun orangnya tidak menamakan dirinya dengan istilah ini (lihat kalimat penutup risalah Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf karya Dr. Milfi Ash-Sha’idi).

Salafiyah adalah sebuahmanhaj/metode beragama. Ia bukanlah sekumpulan orang atau suatu tanzhim/organisasi tertentu, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakanpenisbatan yang terpuji. Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para Sahabat Nabi, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fiqh, pemahaman, tata cara ibadah, akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam haltazkiyatun nafs/penyucian jiwa (lihatal-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13)

Syaikhul Islam mengatakan, “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri dan menyandarkan diri kepadanya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Sebab madzhab salaf itu tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 16)

[2] Dakwah Harus Dilandasi Ilmu

Salah satu sebab yang banyak mengacaukan dakwah ini adalah ketiadaan ilmu. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. karena sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalahketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82]).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badrhafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihatSyarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah -hai Muhammad-: Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan tergolong bersama golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

[3] Kembalikan Kepada al-Kitab dan as-Sunnah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59).

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah berkata, “Apabila umat manusia kembali kepada al-Kitab dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya persatuan itu akan terwujud. Sebagaimana hal itu telah terjadi pada generasi awal umat ini, padahal mereka dahulu -sebelumnya- berpecah-belah…” (lihatal-Ishbah fi Bayani Manhaj as-Salaf fi at-Tarbiyah wa al-Ishlah, hal. 82).

Beliau juga menekankan, “Tidak akan bisa menyatukan hati dan mempersatukan umat manusia kecuali dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Kalau tanpa itu maka tidak mungkin mereka bisa bersatu…” (lihat al-Ishbah, hal. 82).

Syaikh Abdullah al-Ubailanhafizhahullah berkata, “Dengan tiga perkara berikut ini, maka persatuan itu akan terlaksana; [1] aqidah yang sahihah, [2] kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika berselisih, [3] taat kepada ulil amri (umara/ulama) serta selalu menginginkan kebaikan bagi mereka dan menasehati dengan cara yang bijak.”(lihat al-Ishbah, hal. 84).

[4] Menjauhi Perpecahan dan Fanatisme Buta

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan, dan untuk mereka itulah siksaan yang sangat pedih.” (QS. Ali Imran: 105).

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ini merupakan larangan bagi kita supaya tidak menjadi sebagaimana orang-orang jahiliyah yang suka berpecah-belah dalam agama mereka dan berselisih. Namun, hal itu terjadi bukan karena kebodohan mereka, akan tetapi hal itu timbul karena hawa nafsu. “Setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan”. Mereka meninggalkan keterangan-keterangan tersebut dan justru mengikuti kemauan hawa nafsunya. Sehingga faktor yang mendorong mereka menuju perpecahan ini adalah hawa nafsu -kita berlindung kepada Allah darinya-. Mereka telah mempertuhankan hawa nafsu mereka sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla…” (lihat Syarh Masa’il Jahiliyah, hal. 36-37)

Syaikh Abdullah al-Ubailanhafizhahullah berkata, “Mereka -Ahlus Sunnah- meyakini bahwa sebab utama perpecahan adalah sikap sektarian dansuka bergolong-golongan pada diri sebagian kaum muslimin terhadap suatu kelompok tertentu, jama’ah tertentu, atau sosok tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia.” (lihat al-Ishbah, hal. 85).

Suatu ketika, Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma ditanya, “Kamu berada di atas millah Ali atau millah Utsman?”. Maka beliau menjawab, “Bahkan, saya berada di atas millah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Ishbah, hal. 86)

[5] Menempuh Sebab-Sebab Menuju Persatuan

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah berkata, “Para sahabat dahulu biasa meninggalkan pendapat pribadi mereka, meskipun pendapat itu dibangun di atas al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka meninggalkannya apabila hal itu menjadi sebab tercerai-berainya persatuan. Lihatlah, bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud seorang sahabat yang mulia -semoga Allah meridhainya- tatkala Amirul Mukminin Utsmanradhiyallahu’anhu menyempurnakan sholat (tidak mengqashar) di Mina. Padahal, Ibnu Mas’udradhiyallahu’anhu berpendapat qashar di Mina. Meskipun demikian, apabila beliau sholat di belakang Utsman radhiyallahu’anhu maka beliau menyempurnakan (tidak qashar). Ketika ditanyakan kepadanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Wahai putraku, perselisihan itu buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim).” (lihat al-Ishbah, hal. 97).

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah berkata, “Memang terkadang sesuatu yang lebih utama ditinggalkan kepada sesuatu yang kurang utama, hal itu apabila dengan sesuatu yang kurang utama itu akanmembuahkan persatuan. Di saat semacam itu, wajib baginya untuk mengalah dari menginginkan sesuatu yang lebih utama menuju sesuatu yang kurang utama. Hal itu perlu dilakukan demi utuhnya kesatuan dan persatuan kaum muslimin…”(lihat al-Ishbah, hal. 98).

Beliau menambahkan, “Hal itu -dianjurkan untuk mengalah- berlaku dengan catatan selama tidak merusak agama. Adapun apabila menimbulkan kerusakan agama, maka tidak boleh. Oleh karenanya wajib bagi seorang muslim mengalah dari memaksakan pendapat dan ijtihadnya, meskipun menurutnya apa yang dia yakini itulah yang lebih utama. Lantas, bagaimana lagi apabila ternyata apa yang dianut oleh jama’ah (mayoritas umat/ulama) adalah sesuatu yang lebih utama, sedangkan apa yang diyakini oleh orang yang menyelisihi ini adalah sesuatu yang kurang utama, atau bahkan sesuatu yang tidak benar?!.” (lihat al-Ishbah, hal. 98).

Syaikh Shalih al-Fauzanhafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu seharusnya para penuntut ilmu dan orang-orang yang menyandarkan diri kepada ilmu mencamkan baik-baik kaidah ini; yaitu apabila seseorang muslim memiliki pendapat dan ijtihad yang seandainya ditampakkan kepada orang banyak menimbulkan kekacauan dan persengketaan, maka semestinya dia tidak perlu menampakkannya. Cukuplah dia mengikuti apa yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Sebab hal itu lebih menjamin -kebaikan- baginya dan lebih mendekati kebenaran.” Syaikh Abdullah al-Ubailanmengomentari ucapan terakhir Syaikh al-Fauzan di atas, “Benar, hal ini tidak ragu lagi sangat diperlukan. Apalagi dalam kondisi berkecamuknya fitnah.” (lihat al-Ishbah, hal. 98).

[6] Bersemangat Mencari Kebenaran

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kebenaran yang belum kita ketahui jumlahnya jauh berkali lipat lebih banyak daripada kebenaran yang sudah kita ketahui. Kebenaran yang sudah kita ketahui dan tidak ingin kita kerjakan kerena faktor meremehkan atau malas bisa jadi seimbang jumlahnya dengan kebenaran yang ingin kita kerjakan, atau bahkan jauh lebih banyak, atau kurang dari itu. Begitu pula,kebenaran yang tidak sanggup kita lakukan dibandingkan dengan yang sanggup kita lakukan pun demikian keadaannya. Kebenaran yang sudah kita ketahui secara global pun mungkin masih terlalu banyak yang tidak kita ketahui rinciannya. Oleh sebab itulah maka kita membutuhkanhidayah yang sempurna.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9)

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbadhafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap raka’at sholat; baik sholat wajib maupun sholat sunnah.” (lihatQathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 114)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah akan bersama dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahberkata, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad/kesungguh-sungguhan. Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Maka barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini akan Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang akan mengantarkan kepada surga-Nya. Dan barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan sebagian petunjuk sekadar dengan jihad/perjuangan yang dia abaikan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518], al-Fawa’id, hal. 58)

[7] Bersemangat Mengajak Kepada Kebenaran

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya engkau -Muhammad-tidak bisa memberikan hidayahkepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang kuasa memberikan hidayah kepada orang yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash: 56).

Sa’id bin al-Musayyabmeriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirahtelah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku.Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib,apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah diatetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkanlaa ilaha illallah… (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 24)

Dari Sahl bin Sa’dradhiyallahu’anhu, suatu ketika dalam peperangan Khaibar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sungguh, aku akan memberikan bendera ini kepada seorang pria yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan, dia mencintai Allah dan rasul-Nya, dan Allah dan rasul-Nya pun mencintainya.” Sahl berkata: Maka di malam harinya orang-orang pun membicarakan siapakah kira-kira di antara mereka yang akan diberikan bendera itu. Sahl berkata: Ketika pagi harinya, orang-orang hadir dalam majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing dari mereka sangat mengharapkan untuk menjadi orang yang diberikan bendera itu. Kemudian, Nabi bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”. Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit di kedua matanya.” Sahl berkata: Mereka pun diperintahkan untuk menjemputnya. Kemudian, dia pun didatangkan lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi kedua matanyadan mendoakan kesembuhan baginya maka sembuhlah ia. Sampai-sampai seolah-olah tidak menderita sakit sama sekali sebelumnya. Maka beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita?”. Beliau menjawab, “Berjalanlah dengan tenang, sampai kamu tiba di sekitar wilayah mereka. Lalu serulah mereka untuk masuk Islam dan kabarkan kepada mereka hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, apabila Allah menunjuki seorang saja melalui dakwahmu itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki onta-onta merah.” (HR. Bukhari no. 2942 dan Muslim no. 2406)

[8] Islam Telah Sempurna

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Akusempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. al-Ma’idah: 3).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah nikmat terbesar dari Allah ta’ala untuk umat ini. Dimana Allah ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan lagi agama selainnya, dan juga tidak butuh nabi selain nabi mereka -semoga salawat dan keselamatan terus terlimpah kepada beliau-. Oleh sebab itulah Allah ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup nabi-nabi dan diutus kepada segenap jin dan manusia…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [3/20])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).

Syaikh as-Sa’di rahimahullahberkata, “Artinya, siapa pun yang beragama kepada Allah dengan selain agama Islam padahal Islam itu jelas-jelas telah diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, maka amalannya pasti tertolak dan tidak akan diterima. Agama Islam itulah ajaran yang mengandung sikapkepasrahan/istislam kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, selama seorang hamba tidak memeluk agama ini maka dia belum memiliki sebab keselamatandari azab Allah dan tidak memiliki sebab untuk meraih kejayaan berupa limpahan pahala dari-Nya. Dan semua agama selainnya adalah batil.” (lihatTaisir al-Karim ar-Rahman, hal. 137)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).

Ibnu Katsir rahimahullahmenjelaskan, “Ini adalah berita dari Allah ta’ala bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi-Nya dari siapa pun selain agama Islam. Hakikat  Islam adalah mengikuti para rasuldengan menjalankan ajaran yang diturunkan Allah kepada mereka di setiap masa sampai akhirnya mereka -para rasul- ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menutup semua jalan menuju-Nya kecuali jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memeluk agama selain yang disyari’atkan oleh beliau maka tidak diterima…” (lihatTafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/19] cet. Maktabah at-Taufiqiyah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum yang ummi/buta huruf (yaitu orang-orang musyrik); ”Maukah kalian masuk Islam?”. Apabila mereka masuk Islam, sungguh mereka telahmendapatkan petunjuk. Namun apabila mereka justru berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha melihat semua hamba.” (QS. Ali Imran: 20).

Imam Ibnu Katsir rahimahullahberkata, “Ayat ini dan juga ayat-ayat lain yang serupa merupakan penunjukan yang sangat tegas mengenai keumuman pengutusan beliau -semoga salawat dan keselamatan tercurah kepadanya- kepada semua manusiasebagaimana hal itu telah diketahui sebagai bagian dari agama secara pasti, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil al-Kitab maupun as-Sunnah dalam banyak ayat dan hadits.” (lihatTafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/20])

[9] Menjunjung Tinggi Sunnah/Ajaran Nabi

Dari Anas bin Malikradhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan: Tatkala turun ayat ini (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalianmengangkat suara kalian lebih tinggi daripada suara Nabi. Dan janganlah kalian mengeraskan suara kalian di hadapannya sebagaimana kalian ketika kalian berbicara satu dengan yang lain, karena hal itu akan membuat amal kalian menjadi terhapus dalam keadaan kalian tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat: 2). Maka Tsabit bin Qais pun hanya duduk di rumahnya dan berkata, “Aku termasuk penghuni neraka.” Dan dia pun menutup diri tidak mau berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Sa’ad bin Mu’adzWahai Abu ‘Amr, ada apa dengan Tsabit? Apakah dia sedang sakit?”. Sa’ad menjawab, “Sesungguhnya dia adalah tetanggaku. Dan sepengetahuanku dia tidak sakit.” Anas berkata: Maka Sa’ad bin Mu’adz pun mendatanginya lalu menceritakan kepadanya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Tsabit pun menjawab, “Telah turun ayat ini. Dan kalian pun mengetahui bahwasanya aku adalah orang yang paling tinggi suaranya dibandingkan kalian di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau begitu berarti aku termasuk penghuni neraka.” Kemudian, Sa’ad pun menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Bahkan dia termasukpenghuni surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [119])

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahberkata, “Apabila dengan mengangkat suara mereka lebih tinggi daripada suara beliau itu menjadi sebab terhapusnya amalan mereka, maka bagaimana lagi dengan orang yanglebih mendahulukan pendapat mereka, akal mereka, perasaan mereka, politik mereka, atau pengetahuan mereka daripada ajaran beliau bawa dan mengangkat itu semua di atas sabda-sabda beliau? Bukankah itu semua lebih pantaslagi untuk menjadi sebab terhapusnya amal-amal mereka?” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/407])

[10] Mengapa Harus Salafiyah?

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah pernah ditanya : “Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam ?”

Maka beliau rahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salafsudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimahradhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf(pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf…Dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”

Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan : Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini –meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untukberlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam Shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.”

“Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbatan diri kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorangpun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepadakekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashrhafizhahullah)

Allahu a’lam.