Kamis, 13 Desember 2012

Beragama Ala Komunitas Musik Metal Ujungberung Rebels # 1


Selama ini masyarakat mengenal komunitas musik
bawahtanah (underground) identik dengan narkotika,
alkohol, seks bebas. Apalagi pasca Insiden Sabtu
Kelabu Tragedi AACC (Asia Africa Culture Center), 9
Februari 2008 yang merenggut nyawa 11 orang
(Novi Febriana, Dicky Zaelani Sidik, Kristianto, M.
Yusuf Ferdian, Agung Fauzi Pratama, Dadi, Ahmad
Wahyu, Yudi, Novan, Ahmad Forqon dan Entis
Sutisna) pada saat band metal, Beside menggelar
konser peluncuran album yang berjudul “Against
Ourselves” di Gedung Asia Africa Culture Center
(AACC), Jalan Braga Bandung yang menyeret tiga
orang panitia konser (Aditya Arga Sasmita, Herdi
Eka Putra dan Sugiana Ali) ke meja hijau dan
dijatuhi vonis hukuman; Aditya Arga Sasmita, 2
tahun 6 bulan dan Herdi Eka Putra dan Sugiana Ali,
10 bulan.
Sungguh tragedi itu semakin memperburuk citra
pegiat musik indie di tengah-tengah hidup
bermasyarakat. Urusan keagamaan sering dianggap
tak pernah ada di kalangan metal ini. Benarkah?
Dalam buku Memoar Melawan Lupa, Catatan-
catatan tentang Insiden Sabtu Kelabu Tragedi AACC
9 Februari 2008 dan Ujungberung Rebels yang
ditulis oleh Kimung terbitan Minor Books,
CommonRoom dan Hivos pada 9 Februari 2011 sarat
dengan keagamaan.
Namun, model keberagamaan para pemusik metal
ini tidak hanya dilihat dari aspek ritual (shalat,
puasa, pergi ke mesjid, menghadiri pengajian,
memakai peci, kerudung, sarung) semata, tapi bisa
dilihat dari segi pemikiran, perilaku dan
karya nyata. Meskipun, ada beberapa pentolan indie
sangat kuat memegang aturan agama.
Mari kita telaah secara seksama dalam buku babon
dari Panceg Dina Galur, Ujungberung Rebels dengan
memegang teguh slogan ”…Panceg dina galur/
babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan
awak lebur…”
Ageman # 1, Launching album band Beside, Against
Ourselves di bagian Against # 2 Sabtu Kelabu
(Bandung, 9 Februari 2008, Sabtu Kelabu) sebelum
acara dimulai terjadi dialog antara Addy Gembel
dengan Owank”Waduh, tegang euy Pa Addy. Doain
saya ya, biar lancar.” Owank memegang tangan
Gembel dengan erat. Raut mukanya memang
menunjukkan hal itu.
“Wah jangan nyuruh Gembel buat berdoa atuh.
Mendingan kalian aj yang berusaha,” sambil
bercanda Gembel memegang erat tangannya.
Semua personil tertawa. Lalu satu per satu dari
mereka merapat membentuk lingkaran. Mereka
berdoa bersama lalu secara serempak berteriak
lantang “Beside” (h.21)
Ageman # 2, Saat berlangsung konser yang
mendadak lampu neon temaram mati. Makin
terhimpit dan terseret-seret oleh desakan orang di
belakangnya. Mulai terdengar teriakan-teriakan
kesakitan. Suasana benar-benar dilanda kepanikan.
Di depan Gembel, jaraknya kurang lebih dua meter,
seorang nak berbaju putih nampak kepayahan
terhimpit. Posisinya tepat merapat ke dinding.
Tubuh mungilnya terhimpit oleh desakan masa dari
arah depan sementara badannya terhalan dinding.
Pertolongan diberikan oleh Gembel. Banyaknya
yang pngsan membuat Gembel kembali berlari
menuju kerumunan. Seorang remaja tanpa pakaian
tengah diseret oleh seseorang. Ia segera
membantu. Kondisinya sudah sangat payah. Ada
Butchex the Cruel yang datang membantu.
“Chex, urang butuh mobil jang ngangkut korban.
Sakalian jieun jalur evakuasi. Tulungan nyak!”
sedikit berteriak saya meminta pertolongan Butchex
“Oke, siap. Barudak urang aya nu mawa mobil.
Korbana bawa ka sisi jalan heula. Jadi langsung
diangkut.” Dengan sigap Butchex merespon.
Gembel segera menuju lorong pintu artis, berteriak
agar area tersebut dokosongkan untuk
mempermudah evakuasi orang ingsan. Remaja yang
pingsan bersama kawan yang lain digotong keluar
gedung. Sampai di luar nampak lalu lintas macet.
Gelisah kembali menyergap Gembel ketika menanti
kedatangan mobil yang dijanjikan Buthex. Semenit,
dua menit. Waktu berjalan sekan sangat lambat.
Semenit, dua menit lagi. Tak sabar, Gembel segera
saja meletakkan anak yang pingsan tersebut di
pinggir jalan dan segera berlari ke arah bar Kyoki,
menemui aparat dan mobil patwal.
“Pak, maaf. Saya butuh kendaraan segera. Ada
beberapa orang yang harsu segera dibawa ke rumah
sakit. Kondisinya kritis,” mencoba mencari
pertolongan pada aparat tersebut
“Mas panitia bukan?” balik aparat itu bertanya
“Bukan, Pak. Saya cuma nolongin aja,” jawab saya
dongkol karena aparat itu tak segera merespon
malah memperlambat rencana evakuasi saya
dengan pertanyaan yang menurut hematnya tidak
usah dilancarkan saaat itu.
‘Ya sudah, tenang saja. Ambulan dalam perjalanan,”
jawab aparat itu lagi mencoba meyakinkan Gembel.
(h.26)
Ia segera balik lagi dan berlari ke arah orang yang
tadi ia gotong. Sekilas ketika melintas ia juga
melihat sosok yang sedang tergeletak sendirian.
Ketika sampai, lagi-lagi ia terlambat. Tampak
kawannya sedang menangis meratapi jasad
di sisinya. Jasad bertelanjang dada. Sepatunya
tinggal satu. Gembel masih belum nyakin. Ia
periksa semua tanda kehidupan di tubuhnya.
Semuanya nihil. Lagi-lagi Gembel tak percaya. Dia
saudah pergi, batin Gembel. Dadanya semakin
sesak. Mata Gembel mulai panas berair. Antara
marah, kecewa dan sedih. mendadak senyap
menyergapnya. Gembel merasa sangat sendirian di
tengah semua keriuhan yang sedang berlangsung
saat itu.
Sedetik, dua detik, keriuhan kembali menghajar
relung paling sepi dalam diri Gembel, menghjarnya
telak, mengembalikkan kesadaranya. Sejurus, ia
melihat Andris Burgerkill bertelanjang dada sedang
sibuk menggotong seseorang. Segera ia membantu
Andris.
“Urang bawa ka mobil si Andika,” Andris memberi
perintah Mereka bergegas menggotong anak yang
pingsan itu  melewati kerumunan penonton yang
masih membludak panik. Andika saudah menanti di
mobilnya. Korban dimasukkan melewati pintu
bagasi.
“Bah aya hiji deui nu kudu ditulungan. Konisina
kritis. Jigana kudu gancang dibawa” Gembel
mengajar Andris. Kami segera berlari menembus
kemacetan kendaraan, menembus kerumunan
orang-orang menuju arah bar Kyoki. Ternyata sudah
ada banyak aparat di sana. Tampak sedang
mengerubungi tubuh yang tergeletak. Andris berlari
menerobos kerumunan tersebut.
“Pak, tolongin dia! Cepet angkut!” Andris duduk di
samping jenazah dan berteriak lantang pada aparat.
“Kamu siapa? Kamu panitia ya?” aparat balik
bertanya dengan nada membentak.
“Saya bukan panitia, Pak! Saya cuma kasihan liat
orang ini” Andris memberian pembelaan
“Ya sudah, kamu diem aja! Gak usah sok sibuk! Ini
sudah jadi kewenangan aparat” nadanya makin
tinggi. Lalu Andris didorong ke belakang. Suasana
mendadak memanas. Andris, sang mesin tempur
Ujungberung Rebels yang terkenal tak takut kepada
siapapun termasuk aparat itu jelas meradang. Ia
berbalik mendorong badan si aparat tadi bersiap-
siap mementahkan bogemnya, tidak terima atas
perlakuakn aparat tersebut. (h.27)
Ageman # 3, Atas pemberitaan yang simpang siur
dan memojokan musik metal, Eben Burgerkill
Homeles Crew menusik secar detil tentang
Kronologi Tragedi AACC, Bandung, 9 Februari 2008,
Cerita pendek Tragedi Berdarah konser
musik Beside. Pada paragraf terakhir menulis
Dengan adanya tulisan pendek ini mudah-mudahan
berita miring di media yang terkesan memojokan
teman-teman komunitas atas tragedi ini dapat
sedikit diluruskan, dan kejadian ini dapat dijadikan
contoh kasus yang perlu diteladani dan disikapi
dengan benar oleh semua pihak yang berkaitan
dengan pelaksanaan sebuah konser musik. Tulisan
ini hanya sebuah pandangan dan opini seorang
musisi, teman, dan penikmat musik yang sangat
mengharapkan suasana yang kondusif dari sebuah
konser. Dari lubuk hati yang paling dalam saya
mewakili komunitas musik sejagad Indonesia
turut merasakan prihatin dan belasungkawa yang
sedalam-dalamnya atas tragedi ini. Semoga teman-
teman kami yang telah pergi dapat beristirahat
dengan tenang dan segala kebaikannya diterima
disisi Allah SWT, Amien…
Live hard, die hard… Rest In Peace Brothers!
We’re gonna miss u… (h.32)
Ageman # 4, Kali pertama Seminar Musik digelar
pada tanggal 16 Februari 208 yang mengusung tema
“Equal Fest 2008: Diskusi Publik dan Malam Seribu
Lilin untuk Korban Insiden sabtu Kelabu, Dago Tea
Huis dan AACC” Reggie mengenang “Equal Fest
ceuk aing acara paling keren nu pernah dihelar ku
komunitas! Acara ieu bener-bener fenomenal, acara
musik dirobah jadi seminar. Kabeh datang. Can
pernah aing saumur hirup datang ke seminar nu
dihariri ku barudak metal kabeh nepi bisa minuhan
sa-Dago Tea House. Jabeh jelema, kabeh
komunitas saling papangih. Nu asalna jauh, jadi
deukeut, bisa ngobrol bareng dina posisi nu sarua.
Urang ningali ieu jadi hiji proses pendewasaan nu
alus pisan keur barudak. Aing terharu mun ningali
ieu Equal Fest. Sababaraha kali aing leweh lantaran
bangga”
Tampilnya Pa Marsion sekalu dari korban Ahmad
Wahyu Effendi mengenang ata meninggal anaknya
pada acara seminar ini memberikan harapan yang
berarti bagi komunitas metal. “Saya tidak
menyangka ini akan terjadi. Sebelum berangkat,
Ahmad minta izin kepada ibunya dan saya,”
tuturnya. Namun, kabar buruk mengenai Ahmad
diterimanya malam itu. Anak saya tewas. “Kejadian
ini sangat memukul. Ahmad pamit dalam keadaan
sehat, tapi pulang sudah jadi mayat. Sebagai
orantgua saya sangat terpukul,” tuturnya
Meski bersedih dan merasa kehilangan, Pa Marsion
tak menutup mata. Ia melihat musuk bawahtanah
memiliki banyak peminat, termasuk almarhum
anaknya. Karena itu, ia berpesan “Kepasa anak
muda yang suka nonton konser jangan sampai
kapok. Tapi ini harus jadi pelajaran. Kalau nonton
jangan sampai enggal tertib.” Dengan legowo, Pa
Marsion juga berpesan kepada band Beside untuk
tidak menjadikan Tragedi Sabtu Kelabu sebagai
penghambat untuk terus berkreasi. “Terimakasih
kepada band Beside. Jangan sampai merasa
disalahkan. Terus berkarya”
Harapan dan harpan yang bergulir dari setiap kata
Bapak luar biasa satu ini seperti untaian doa yang
terus bergulir. Bagi komunikas bawahtanah, doanya
adalah seperti sebuah mukjizat untuk tetap hidup
dan melanjutkan perjuangan. Begitupun dengan doa
dari orang-orang tua korban lainnya. Anak mereka
telah tersemat dalam benak dan hati komunitas
baah tanah sebagai phlawan. Sudah sepatutnya
kematian mereka dijadikan refleksi oleh
komunitas bawahtanah itu sendiri. Semoga arwah
para pahlawan kami ini bisa diterima di sisi-Nya.
Amin (h.57)
Setelah usai acara di Dago Tea House semua yang
hadir dengan tertib berkonvoi ke Gedung AACC di
Jalan Barga untuk melakukan tabur bungan dan doa
bersama. Di depan Gedung AACC telah dikondisikan
rangkaian bungan dan puluhan lilin serta beberapa
para tradisionalis yang akan melakukan rajah,
pembacaan doa, mohon ampun dan
meminta perlindungan agar langkah semua orang di
kota ini sesantiasa diberi perlindungan oleh Sang
Maha Kuasa. Rajah diterukan dengan perenungan,
pembacaan doa bersama, memainkan lesenian
tradisional. Kolektivitas komunitas bawahtanah
Bandung berbaur menjadi satu dalam wadah yang
saling berbaurdan menunjukkan seimpai dan
dukungan luar biasa. Taiap komunitas yang ada di
Bandung saling mendukung satu sama lain sehingga
gedung di Dago tea House ini terpenuhi. (h.58)
Ageman # 6, Suasana hati kelabu dari tragedi pada
konser peluncuran album grup band Beside itu
masih menggantung di underground scene Bandung.
Liputan ini ditulis oleh Lusiana Indriasari. Ritual di
pemakaman dilakukan, beberapa pertemuan dan
diskusi yang berhubungan dengan masalah ini
digelar. Keprihatinan juga diungkapkan dalam
bahasa mereka, lewat zine mereka, misalnya
dengan kata-kata: ”…kematian adalah hal yang
biasa, namun kematian yang tidak dikenang adalah
hal yang menyakitkan”, ”Menjadi Tua itu pasti,
melupakan yang Muda itu pilihan. Dewasa Mu
Bukan Untuk Ku…” (ini ungkapan dari zine Never
Grow Up). (h.73)
Ketika rock merongrong pop dan menjadi motor
gerakan perlawanan budaya di kalangan anak-anak
muda, dalam  kapasitasnya sendiri dengan
informasi yang terbatas pada masa tahun 1960-an,
apa yang terjadi di Barat itu juga segera punya
pengaruh terhadap gaya hidup anak muda di mana-
mana. Bisa dibayangkan situasi masa kini ketika
dunia menjadi satu—istilah Thomas Friedman ”jagat
menjadi rata”—bagaimana pengaruh itu menembus
sampai pelosok desa, taruhlah Ujungberung,
kawasan di pinggiran Bandung bagian timur.
Informasi dari jagat maya telah menjadikan anak-
anak muda Ujungberung menjalani trajectory
budaya. Sore atau petang mengaji, malam kumpul
teman-teman ber-metal-ria. Bahasa duka cita
mereka ungkapkan lewat t-shirt
seperti ”underground berkabung” tadi, atau bahasa-
bahasa lain lewat zine mereka. (h. 73)
Ageman #7, Peluncuran album Against Ourselves
milik band Beside secara jelas dimuat www.supri-
online.com Ini tulisannya;
Sejenak mari kita tundukkan kepala pagi martyr
metal undergrounders yang telah meninggalkan kita
di launching album beside – against ourselves
bulan Februari lalu.Mari kita gali lebih lanjut album
yang diluncurkan bulan Februari lalu tersebut.
Scene Ujung Bronx selalu menghasilkan band band
yang berbahaya, salah satunya dalah BESIDE dan
lewat album ini mereka menyajikan musik musik
metalcore yang banyak terinspirasi oleh band
seperti Chimaira, Soilwork, Lamb of God dan
lainnya. Bila kita hanya mendapatkan sampler
berupa lagu saja tanpa kita mengenal band
ini sebelumnya, saya berani bertaruh anda pasti
menganggap lagu tersebut asal dari band luar
negeri .Yap pasti .. kualitas recording dan mixing
yang rapi dihidangkan di album ini sehingga
sepintas mirip band2x Trustkill Records. Album
ini berisi total 11 lagu dengan durasi kurang lebih
hanya setengah jam saja. Lagu lagu yang powerful
ini dikemas sedemikian rupa sehingga pendengar
akan dimanjakan dengan komposisi lagu lagu yang
cukup enak didengar dari riff2x gitar yang melodius
dikombinasikan dengan beat drum yang cukup baik
mengisi dan mengatur tempo pada lagu lagu milik
Beside ini.
Diawali oleh lagu akustik berjudul intro, lagu yang
agak kelam menyuarakan sesuatu di balik album
ini.dan memang album yang dikemas ulang dengan
bentuk digipak CD ini memuat nama nama para
martyr yang telah meninggalkan kita pada launching
album ini. Dilanjutkan dengan komposisi apik
berjudul the end of pain yang dapat dikategorikan
sebagai lagu bertempo menghentak dan cukup easy
listening. Lagu lain yang cukup menggigit adalah
7th Deadly Sin , sebuah lagu yang diawali dengan
riff riff gitar ala Lamb of God .  Lagu yang berlirik
sarkasme muncul di lagu aku adalah Tuhan, sebuah
plesetan pada hubungan vertical kita dengan Tuhan.
Tema dalam album ini kebanyakan agak sarkasme
dengan mengedepankan kekerasan dan ketidak
adilan dalam hidup. (h. 130)
Ageman #8, Sayap komunitas Ujungberung Rebels
yang paling muda, Bandung Death Metal Syndicate
(BDMS). Untuk Bandung Death Fest III dengan
slogan “Panceg Dina Galur Moal Ingkah Najan Awal
Lebur” yang dilaksanakan di Yonif Zipur 09
Ujungberung, Agustus 2008. Acara rencananya
digelar dari pukul 3.00 sampai 21.00 WIB, dibuka
oleh rajahan dan doa bersama yang dipimpin oleh
komunitas kelompok adat Sunda. (h. 148)
Bandung Deathfest III; Wilujeng Bonge!!! dibuka oleh
rajah Pamuka, sebuah ritual bgai keselamatan
bersama. Sehabias merajah, semua berdiri, saling
bersalaman. Bah Adung, sesepuh Sunda
memercikkan air bungan ke semua yang hadir
di rajah saat itu. Sejuknya menghamparkan
kedamaian, menghantarkan semua yang hadir ke
titik nol, titik paling nihil, kekuatan total untuk
berjuang. Ya, semua yang hadir sudah siap berjuang
saat itu. (h. 176)
Repotase acara Bandung Deathfest 3 dilaporkan
secara lengkap oleh METALnino;
Sesuai rundown, event dimulai tepat pukul 1 siang
dengan dibuka oleh band lokal OPIUM yang sama-
sama mendapatkan jatah tampil sama dengan band
penampil lainnya selama 25 menit. Yes, mereka
mengusung death metal,pastinya. EDEN COLLAPSE
selanjutnya yang kebagian jatah membantai telinga,
disusul dengan band death metal Bandung;
EMBALMED (Berpersonilkan ex-member nya
NAKED TRUTH). Band ini berformasikan: Idat
(Gitar), Ari (Drum), Riki (Bass) dan Sabo (Vocal).
Usai EMBALMED, tampil band brutal death generasi
baru asal Bandung yang terus terang sempat
membuat saya kagum sebelumnya saat menikmati
lagu-lagu mereka di my space. Fuckin Incredible!
You rulez bro! Dan sekarang ini ternyata saya bisa
langsung mengarahkan langsung mata saya kepada
live perform mereka.
DISINFECTED kebagian melakukan penyiksaan
setelah MANNEQUIN dan mengusung 5 buah lagu;
“Reek shit on a tomb”,”Melted”,”Aku akan bunuh
kamu”,”Master of puppets”(cover lagu milik
METALLICA yang dibrutalkan aransemennya) dan
lagu pamungkas bertitel “Within’ Subconcious
mind”, disusul BLEEDING CORPSE, band
brutal death metal tuan rumah yang belum lama ini
baru saja menelurkan debut album yang sangat
menakjubkan; “Ressurection of Murder”. Nuansa
style a-la DISAVOWED langsung menghantam
panggung. Brutal as fuck!!! Selain intro, BLEEDING
CORPSE juga menyuguhkan 5 lagu dalam set list
mereka; “Ressurection of murder”,”bangkai
para pendosa”,”Inhuman Treatment”,”Simpuh tubuh
terbunuh” dan ditutup oleh lagu pamungkas
“Exsecusi mati” yang notabene merupakan lagu
baru.
Dan selesai dengan band yang satu ini, panggung
kemudian dibuat santai oleh atraksi pencak silat
yang berakhir menjelang azan magrib. Penonton
akhirnya terlihat mendingin dan sebagian besar
diantaranya lebih memilih untuk duduk-duduk
santai di pinggiran venue. Sebagian dari mereka
terlihat mempersiapkan diri untuk beribadah
sholat magrib, dan sebagian lagi malah terlihat asik
memanjakan tenggorokan dengan anggur merah,
botol-botol vodka dan berbagai penyegar lainnya
(Ha ha ha!). Maklum, hari segera gelap; cuaca
dingin full hawa pegunungan segera
menusuk tulang. Sementara itu sebagian panitia
yang beristirahat menjelang magrib, terlihat kompak
nongkrong bareng bersama rekan-rekan brimob
yang bertugas di venue. Sambil bercanda tawa
tentunya! Enjoy! (h. 177-178)
Ageman #9, Sebagai penutup rangkaian Helarfest
2008, diset sebuah acara besar yang digelar di GOR
Saparua akhir (30) Agustus 2008. Acara tersebut
bertajuk “Baheula, Ayeuna, Salilana Saparua :
Bandung Youthpark Fest yang digelar oleh Gimmick
Enterprise pimpinan Edi Brokoli. Edi menyebutkan
jika tujuan acara ini adalah silaturahim antara
para pionir ranah musik bawahtanah Bandung era
1990an dengan kaum muda tahun 2000an akhir,
nostagilaan, mengingat kembali semangat luar
biasa ketika musik ini semakin hadir di hati para
pengusungnya sehingga sebesar sekarang.
Dan untuk itulah GOR Saparuan dianggap sebagai
tempat yang tetap. Ini laporan khas www.supri-
online.com
BAHEULA, AYEUNA, SALILANA – SAPARUA ….!!!
Merupakan tema dari acara Bandung Youth Park
Fest ini … Nostalgiaan euy … bertemu dengan
teman lama , silaturahmi adalah misi utama saya
dating ke sini, karena sudah lama hingar bingar
musik bawah tanah tidak menggema di kawasan ini.
BYPF ini bisa menjadi prototype dari metalfest
skala Nasional, karena memiliki 2 panggung,
outdoor dan indoor. Outdoor diperuntukkan bagi
kalangan underground yang memiliki banyak
massa, sedangkan bagian Indoor bagi band yang
tidak memiliki basis masa cukup besar,
sehingga didesain sedemikian rupa sehingga
menyerupai diskotik dengan tata cahaya lampu yang
sangat baik, sehingga apapun band dan DJ yang
tampil disini penonton disuguhi oleh pertunjukan
yang luar biasa .Acara ini menurut saya
berhasil mengembalikan ‘rasa’ yang telah lama
hilang bagi semua kalangan penikmat musik apakah
itu metal, underground, electronics, ska, punk
apapun namanya untuk kembali menikmati masa
masa indah dahulu ketika bermain di
saparua, dimana ribuan orang hadir di GOR Saparua
ini. Namun mood kegembiraan, suka cita ini tiba
tiba hilang berubah menjadi kekecewaan luar biasa
ketika menerima kabar bahwa show ini dicut
dengan alasan yang bernama ijin keramaian.
(h. 183-184)
GOR Saparuan merupakan tempat besejarah dan
iconnya musik underground Bandung. Di sela-sela
beraktivitas masih ada pentolan metal yang kuat
menjalankan ibadah. Ini diceritakan oleh Funny
Amaliasari Murtilam, kawan kuliah Kimung, Ivan
Sumbag dan Kobah di Fakultas Sastra Unpad secara
rinci menuliskan pengalamnya bersama Kiming
Dajjal ”Saya juga gak lupa sama Kiming Dajjal”
Emang sih, musik Dajjal gak gitu kena di telinga,
tapi sebagai performer, Dajjal asik. Fansya juga
heboh. Kalo mereka manggung, kaya ada suasana
‘lain’, apalagi di lapang ada puluhan (atau bisa jadi
ratusan) fans mereka yang kebanyakan berambut
gondrong dan hampir semua berbaju item-item
tumpah melakukan ‘ritual’ headbanging.
Kiming punya rambut yang lebih ajaib dari kimung.
Rambut gimbalnya panjang banget. Lebih panjang
dari rambut Chicha Koeswoyo jaman nyanyiin ‘Heli,
guk, guk guk…’ itu. Saya sering ngeliat dia di BIP.
Kalo dia ngelewat, yang saya perhatiin bukan
Kiming-nya, tapi orang-orang yang berpapasan
sama dia atau ngeliat dia. Ekspresinya pasti
sama, takjub!
Tapi, hal yang sangat berkesan dari Kiming -
eventhough I don’t know him personally- adalah dia
sering say temui di musholla kalo saya Shalat
Ashar atau Maghrib disela acara. Yup! Dia lagi
shalat. Itu juga jadi hal yang berkesan buat Aniesz.
Pernah saya dan Anoez lagi ngiket tali sepatu,
Kiming lagi ngobrol seabis shalat disebelah saya.
Seabis ngobrol, dia berdiri, trus dengan rmah pamit
sama orang-orang yang duduk didekatnya, didepan
musholla, termasuk sama saya dan Aniez, Hayu ah,
mayunan”. How cool! (h. 190-191)
Ketidak sediaan tempat musik bawahtanah
dikeluhkan oleh Kimung;
Satu pertanyaan yang selalu melintas dalam kepala
saya sejak 13 tahun lalu, kenapa konser metal di
adakan di dalam sebuah gedung oleh raga? 13 tahun
yang lalu saya bisa mengira-ngira jawabannya”…Oh
kan menterinya juga ‘pora’, pemuda dan olah raga,
jadi segala bentuk kepemudaan bisa diolahragakan,
termasuk musik kaum muda yang
kemudian diafiliasikan sebagai kegiatan olah
raga….”Hmmm, saya sempat puas denga jawaban
itu walaun tetap saja ada ganjalan.
Entah apa itu. Sedikit terpuaskan juga dengan apa
yang dikatakan sahabat saya, “Heavy metal is a
sport, man!” Ya, musik keras memang butuh
stamina dan apa yang dikatakan sahabat saya benar
belaka. Namun, bermain musik di gedung oleh raha?
Ah, 13 tahun yang lalau saya masih harus puas jika
musik adalah kepemudaan dan
pemerintah memfasilitasinya dengan gedung oleh
raga. Hmmm, orba banget! Padahal seluruh
Indonesia, bahkan Asia dan Swedia serta negera-
negare Eropa tahu jika Bandung adalah barometer
musik Indonesia. Kota kratif yang tak punya
gedung konser musik. Menyedihkan!
Sedikit saya kembali teringat sentilan yang saya,
Kang Tisna dan Kang Utun buat, ayo udunan beli
tanah untuk kita rawat sebagai hutan kota sekaligus
lahan konser musik dan youth center di mana
segala ada di sini, ada gerai makanan khas,
perpustakaan, toko buku, pusat riset dan
dokumentasi kepemudaan, pusat musik, skate park,
sarana olah raga, pokoknya tempat yang asyik bagi
kawula muda untuk gaul! Tempat yang dikelola oleh
kaum muda, untuk kepentingan kaum muda, untuk
kepentingan semua pihak. Apakah Saparuan
mungkin? Tak ada yang tak mungkin! Kuncinya
adalah cinta karena dengan cinta kita jadi
konsisten. Bukankah dengan cinta yang besar
kepada Allah, nabi Musa aja bisa membelah laut?
Mari cintai kaum muda dan Kota Bandung, maka
kita bisa mewujudkannya! (h. 194-195)
Ageman # 10, Adithia Argasasmita, terpidana kasus
tragedi konser maut yang digelar di Asia Afrika
Culture Centre (AACC) Februari 2008 silam,
dibebaskan dari Rumah Tahanan (Rutan) Klas I
Bandung, sekitar pukul 15.00WIB, Senin 18 Agustus
2009 yang seharusnya baru dapat menghirup udara
segar tertanggal 10 Juni 2010 karena telah masa
pidana selama 2 tahun 6 bulan.
Adit mengaku bersyukur atas pembebasanya.
Rencananya, akan tetap menjalani profesi dibidang
Event Organizer (E.O) untuk konser Underground.
“Tapi tentunya saya mengambil hikmah dari ini
semua agar kedepannya ketika memfasilitasi
sebuah event, harus berhati-hati,” ujarnya (h. 203)
Upaya mengenang 2 Tahun Insiden AACC digelar
acara Melawan Lupa di Common Room pada tanggal
17 Februari 2010Insiden ini merupakan malam yang
tidak akan dilupakan oleh sebagian orang, sehingga
dirasa penting untuk berefleksi dan mengenang
kejadiannya, selain mengenang momen
kebersamaan, serta mengambil hikmah dari
kejadian itu. Melawan Lupa, adalah momen krusial
dan tagline penting dalam peringatan tahun ini.
Berbeda dengan acara peringatan tahun lalu, agenda
yang dilakukan tahun ini adalah mengaji dan berdoa
untuk para korban dengan cara yang lebih
sederhana. Malam peringatan pun dihadiri keluarga
korban sebagai bentuk penghargaan kepada para
korban yang telah menjadi bagian dari komunitas
anak muda yang terlibat di dalam insiden ini.
Satu yang perlu disadari bahwa, insiden AACC
bukanlah kesalahan satu pihak, namun kesalahan
berbagai elemen terkait. Entah itu mulai dari pihak
penyelenggara acara, penonton, pengelola gedung,
polisi, pemerintah, media massa, hingga
masyarakat. Banyak pihak yang sebetulnya
berperan dalam insiden ini. Momen penting malam
peringatan dua tahun tersebut merupakan
pembelajaran untuk berbuat lebih nyata, mengambil
hikmahnya, bersatu padu, dan menjadikan hari esok
lebih baik dari hari ini. Dan kejadian malam
tersebut, merupakan pelajaran untuk masa depan
yang lebih baik, jika kita mampu menyikapinya
dengan bijak. Selesai berdoa, acara ditutup dengan
makan tumpeng bersama dan melanjutkannya
dengan menabur bunga di pelataran Gedung AACC.
(h. 204)
Inilah model keberagamaan komunitas metal
Ujungberung Rebels. [Ibn Ghifarie]
Judul : MEMOAR MELAWAN LUPA, Catatan-catatan
tentang Insiden Sabtu Kelabu Tragedi AACC 9
Februari 2008 dan Ujungberung Rebels
Penulis : Kimung
Penyunting I : Yusandi
Penyunting II : Addy Gembel
Desain sampul : Arief Budiman
Tata letak : Dani popup
Cetakan I, Februari 2011
Penerbit : Minor Books
ISBN : 979-602-25-5892-6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar